Monday, July 2, 2018

Setengah Empat Pagi


Setengah empat pagi. Lobby hotel sudah sepi, hanya terlihat seorang petugas resepsionis yang berjaga. 

Saya baru menekan tombol angka lantai tempat kamar ketika terdengar suara seseorang berlari-lari kecil menyongsong lift yang mulai menutup. Tepat waktu dia menahan pintu sehingga terbuka kembali.  Seorang lelaki dan perempuan. Kelihatannya si lelaki sedang mabuk berat, jalannya  sempoyongan dan menguarkan bau alkohol, sedang si perempuan terlihat agak gelisah.


Lift naik perlahan-lahan.

“Tadi lupa nggak ke Indomaret”, si perempuan tiba-tiba memecah keheningan.

“Mau beli, apa?”, sahut si laki-laki.

Kondom. Mereka pasti lupa beli kondom, pikir saya. Apalagi coba kalau bukan kondom yang menjadi hasil penjumlahan dari: setengah empat pagi, mabuk, dan kamar hotel?

“Lupa mau beli pembalut”, jawab si perempuan dengan agak malu-malu.

Dari pantulan cermin di pintu lift saya bisa melihat perubahan air muka si lelaki menjadi muram. Dia kecewa.


”Ting!!”

Pintu lift terbuka, dengan sedikit permisi agar diberi jalan, saya keluar. Masih ada paling tidak tiga lantai lagi yang akan mereka tandaskan dengan kecanggungan.

Setengah empat lebih empat menit pagi, saya tak bisa menahan untuk tidak menyunggingkan senyum di sepanjang koridor menuju kamar.

Monday, February 19, 2018

Review Buku "Keretakan dan Ketegangan"


Judul : Keretakan dan Ketegangan

Penulis : Achdiat Karta Mihardja

Penerbit : Balai Pustaka

Tahun : 1994



Siapa yang tak tahu roman Atheis? Roman yang paragrafnya sering dikutip sebagai soal cerita di pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Masih dari penulis yang sama, Achdiat K. Mihardja, Keretakan dan Ketegangan berisi 12 cerita pendek yang berbeda tema.

Achdiat memang ahli dalam bercerita soal konflik batin manusia, jika dalam Atheis digambarkan bagaimana pertarungan dalam nurani Hasan, pemuda dari keluarga alim yang ‘belajar’ meninggalkan tuhan, dalam kumpulan cerita ini ada berbagai macam lagi.

Beberapa cerita dituturkan dengan alur bolak-balik sehingga kita bisa lebih dalam menyelami alam pikiran masing-masing tokohnya, seperti misal Martini yang tersandera dalan hubungan terlarang yang akhirnya harus mengambil jalan tak terbayangkan, atau Sudiro yang berjibaku antara nafsu dan akal sehatnya di dalam gubuk kumuh di pinggiran Jakarta.

Kumpulan cerita ini pernah mendapat penghargaan sastra BMKN tahun 1957. Agak susah mencari buku ini yang masih dalam keadaan baik karena memang terbitan lama.

Review Buku "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"


Judul : Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : 2017


Ini adalah novel ajaib. Saya bilang ajaib karena hanya dengan 180 halaman, novel ini bisa membawa kita pada beberapa emosi secara mendalam sekaligus, tidak serba tanggung.  Bahagia, sedih, tegang, was-was, jengkel, dan marah datang bergantian dengan porsinya masing-masing.

Secara umum, novel ini bercerita tentang Mat Dawuk, seorang yang digambarkan mempunyai paras dan nasib yang teramat buruk. Hal itu yang membuat Mat Dawuk menjadi olok-olokan di seantero desanya, Rumbuk Randu. Kehidupan Mat Dawuk pun berubah ketika dia menikah dengan Inayatun, seorang kembang desa yang ditemuinya ketika merantau ke Malaysia. Pernikahannya dengan Inayatun ini yang akan mengungkap beberapa rahasia masa lalu Rumbuk Randu.

Membaca novel ini, sedikit mengingatkan saya pada beberapa karya Eka Kurniawan yang sudah saya tandaskan sebelumnya, teknik bertutur yang unik dan dibumbui dengan kejadian-kejadian di luar nalar semakin membuat saya ingin cepat-cepat melahap kalimat per kalimatnya namun juga pada saat yang sama, saya juga merasa eman-eman jika buru-buru mengkhatamkannya.

Setting yang mengambil tempat di pesisir utara Pulau Jawa menjadi nilai tambah tersendiri, mengingat saya juga tinggal di tempat yang relatif sama secara geografi dan demografi. Jadi, mengimajinasikan suasana hutan jati, desa pesisir yang kering, masyarakat, dan kehidupan sosialnya terasa mudah dan membuat semakin terhanyut dalam jalan cerita.


 

Monday, January 8, 2018

Review Buku "Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa"




Judul : Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : KPG
Tahun : 1999 (Cetakan Pertama)


Dimulai dari Geraldine, seorang warga Belanda yang ‘pulang’ ke Indonesia untuk mencari riwayat orang tuanya. Ayahnya adalah Tan Pen Liang, seorang warga keturunan Tionghoa, sedang ibunya adalah Nur Hayati alias Tinung, warga Betawi asli. Cerita kemudian mundur kembali pada tahun 1930-an ketika Tan Pen Liang dan Tinung baru berkenalan dan berbagai macam konflik yang menerpa mereka. Cerita tidak hanya berkutat soal Tan Pen Liang dan Tinung saja, tetapi ada tentang perselisihan antar pengusaha Tiongkok di tanah air, praktek korupsi pada jaman kolonial Belanda, sampai pergerakan menuju kemerdekaan dan perkembangan kehidupan warga Tionghoa pasca kemerdekaan republik.

Novel ini kental dengan budaya-budaya warga Tionghoa di tanah air, mulai dari bagaimana mereka melaksanakan perkawinan, apa yang diperbuat ketika ada sanak keluarga yang meninggal dan perayaan-perayaan seperti Peh Cun, dan Sin Cia atau tahun baru Imlek. Melalui novel ini pula kita mengerti bahwa tidak sedikit warga keturunan Tionghoa yang berjasa dan ikut berjuang memerdekakan Indonesia. Yang menarik, saya baru tahu kalau dialek dan logat medok Jawa-Cina yang biasa saya dengar diucapkan oleh ‘Cino Suroboyo’ sebenarnya sudah ada sejak ratusan lalu seperti kalau mengucapkan “nggak bisa” menjadi “ndak isa”, “di mana” menjadi “deh mana”, “cantik” menjadi “ciamik”, tambahan “o” di akhir kata kerja yang bermakna bersegeralah, seperti “makan-o” yang berarti segeralah makan, sisipan “thak” untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukan, dan banyak lagi lainnya.

Novel ditulis dengan bab-bab yang tidak terlalu panjang, karena memang awalnya dulu dimuat di koran Republika secara serial. Meskipun banyak sekali karakter yang diciptakan Remy Sylado dan kebanyakan bernama Cina sehingga bagi kita yang awam akan kesulitan menghapal, namun cerita dibuat mengalir dan sangat enak diikuti. Bagi yang menyukai sejarah, belajar sejarah melalui novel tentu pilihan yang tidak mungkin ditolak, jika pada Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer kita diajak menyusuri Surabaya di awal abad 20, di Ca Bau Kan kita berjalan-jalan di Batavia tempo dulu, termasuk Kali Jodo yang memang kondang sebagai tempat transaksi birahi sampai ditutup dan sempat ramai beberapa waktu yang lalu.

Soto

Soto penjaja kelling, biasa mangkal di depan kantor, Jl. Basuki Rahmat Gresik


Soto mungkin adalah famili kuliner dengan turunan spesies terbanyak, ada spesies Soto Ayam, Soto Kikil, Soto Madura, Soto Betawi, Coto Makassar, bahkan ada spesies hybrid, Rujak Soto dari Banyuwangi. Keberagaman spesies soto mungkin cuma bisa ditandingi oleh famili sate atau pecel. Namun, Soto Ayam masih berada di peringkat teratas di daftar makanan favorit saya. Saya memilih Soto Ayam karena dia adalah salah satu dari sedikit masakan yang bisa dinikmati di tiap sesi kegiatan makan, entah itu sarapan, makan siang, atau makan malam. Selain itu, bagi saya yang menganut mahzab nasi dan kuah soto dicampur, Soto Ayam benar-benar memberikan kedaulatan penuh pada penikmatnya untuk memilih cita rasa apa yang lebih ditonjolkan pada hidangan yang disantapnya, mau pedas ya tinggal tuang sambal yang banyak, mau agak kecut ya ambil dan peras saja jeruk nipis, mau manis atau asin ya tinggal sesuaikan volume kecapnya. 

Saking doyannya saya dengan Soto Ayam, saya pernah melakukan ritual tujuh kali makan siang dengan tujuh Soto Ayam dari tujuh penjual yang berbeda selama tujuh hari berturut-turut.

Tuesday, January 2, 2018

Review Buku "Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto"





Judul : Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Penulis : Salim Haji Said
Penerbit : Mizan
Tahun : 2016


Buku ini saya beli di Gramedia dengan menukarkan Telkomsel poin, delapan hari sebelum masa berlakunya habis. Memilih buku ini karena kembali tertarik dengan sosok Pak Harto, setelah melihat foto beliau dibingkai cukup besar di lobby Markas Komando Strategi Angkatan Darat (Makostrad) yang beberapa hari lalu saya kunjungi. Selain foto dalam bingkai, di sisi kiri pintu masuk juga ada kutipan dan relief Pak Harto dengan warna emas berukuran sangat besar. Sedangkan di sisi kanan terdapat kutipan dan relief Panglima Sudirman, juga dengan ukuran sangat besar dan warna senada. Wajar kalau Pak Harto begitu diagungkan, karena beliau adalah Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) pertama. 

Oke kembali ke buku, buku ini sebagian besar berisi analisis yang luar biasa dari Salim Haji Said, seorang wartawan cum akademisi. Analisis bagaimana strategi dan trik Soeharto melanggangkan kekuasaan selama lebih dari 30 tahun dengan cara memelihara konflik diantara bawahannya. 
Salim Haji Said yang memang dekat dengan lingkaran kekuasaan menghadirkan banyak narasi menarik yang tidak banyak diketahui banyak orang. Secara umum, buku ini dirangkai dari berbagai wawancara dengan orang-orang dekat Pak Harto baik dari kalangan sipil maupun militer, dan saya yakin sebagian besar dari wawancaranya adalah off the record pada masanya. 
Selain itu, buku ini banyak menghadirkan cerita menarik terkait figur Pak Harto, seperti bagaimana latar belakang pemberian gelar kehormatan "Jenderal Besar" pada tiga jenderal, Soedirman, Nasution, dan Soeharto. Buku ini juga mengungkap kenapa tidak ada satupun anak-anak Pak Harto yang menjadi tentara. 

Bagi yang tertarik dengan sejarah Orde Baru, buku ini layak dikoleksi. 

Wednesday, December 6, 2017

Review Buku "Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia"







Judul : Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia
Penulis : Yuval Noah Harari
Penerbit : KPG
Tahun : 2017



Luar biasa!! Ini adalah buku non-fiksi terbaik yang pernah saya baca!! Pertama kali terbit pada tahun 2011 dalam bahasa Israel, dialihbahasakan menjadi bahasa Inggris pada 2014, akhirnya tahun ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. 

Langsung saja, membaca buku ini kita seperti dihadapkan pada diorama super besar yang memajang kehidupan manusia mulai dari puluhan ribu tahun lalu ketika kita, Homo sapiens, masih hidup di sudut timur Afrika, berbagi tempat di Bumi dengan Homo-Homo lain. Berangsur-angsur Homo-Homo lain punah lalu kita yang pada awalnya hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan mulai bercocok tanam, mendirikan sistem pemerintahan, mengenal uang, menerapkan sistem ekonomi, menjelajah dunia baru dan mencipta berbagai macam teknologi sampai saat ini. 

Secara garis besar penulis membagi menjadi tiga fase perkembangan umat manusia: Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains. Dalam revolusi kognitif kita belajar berkomunikasi, belajar bersosialisasi, dan belajar bekerja sama dengan individu lain. Pada masa revolusi pertanian uang mulai digunakan, kita mendirikan imperium-imperium. Kemudian pada masa revolusi sains kita bisa meninggalkan jejak di bulan, menciptakan banyak hal yang bahkan tak pernah terbayangkan oleh nenek moyang kita. 

Sepanjang 500 halaman, penulis dengan luar biasa baik menjelaskan yang tiap bab yang dibagi lagi menjadi beberapa sub-bab. Sangat mudah dipahami bahkan oleh orang yang awam tentang biologi, paleontologi, sosiologi dan ilmu ekonomi seperti saya karena selalu disertakan contoh-contoh ringan tapi mengena. Misalnya ketika menjelaskan tentang 'fiksi korporasi', penulis memberi contoh sebuah perusahaan mobil Peugeot. Disebut fiksi karena memang secara kasat mata perusahaan (bukan gedung kantornya ataupun produknya karena meskipun gedung kantornya  runtuh atau semua produknya hancur pun Peugeot masih eksis) tersebut tidak ada. Peugeot mungkin hanya berupa selembar kertas yang diterbitkan otoritas tertentu. Sama halnya dengan fiksi agama, fiksi hak asasi manusia, dan fiksi bangsa yang menurut penulis juga tidak pernah ada tapi kita Homo sapiens bisa sepakat untuk mempercayainya bahkan hidup berdasarkan nilai-nilai agama, HAM, dan nasionalisme. Kemudian ada penjelasaan tentang uang, konsumerisme, sistem kapitalisme dan masih banyak lainnya. Intinya, penulis menjelaskan dengan detail bagaimana sejarah selama 100.000 tahun kebelakang telah membentuk kita menjadi manusia seperti sekarang. 

Sedikit kritik untuk buku ini hanya pada skeptisme penulis terhadap manusia saat ini yang dianggap sebagai entitas perusak keseimbangan Bumi dengan bagaimana manusia mengeksploitasi hewan-hewan ternak demi keuntungan spesies manusia belaka, bagaimana manusia menyebabkan kepunahan ribuan spesies dan sinisme terhadap agama yang pasti membuat beberapa pembaca agak gelisah di tempat duduknya.

Pada hampir akhir buku, berisi 'renungan' tentang kebahagiaan. Apakah Homo sapiens saat ini yang hidup nyaman di rumah hangat bersama keluarga lebih bahagia daripada leluhur kita yang tiap hari berburu hewan-hewan dan tinggal di gua yang dingin dan gelap bila malam tiba? 

Bagian terkhir diisi dengan apa saja pencapaian manusia di 1-2 abad terakhir dan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi jika manusia terus mengembangkan rekayasa genetika, menciptakan organ-organ bionik. Akankah manusia bisa menjadi abadi dan melenyapkan Maut?

Saya sangat menyarankan bagi siapa saja untuk membaca buku ini karena memang benar-benar buku yang mencerahkan, buku yang akan menjadikan kita Homo sapiens seutuhnya, seperti maknanya "manusia yang bijak". 

Terakhir, bicara tentang buku terjemahan tentu tidak lepas dari penerjemahnya. Saya angkat topi untuk penerjemah buku ini karena bisa mengalihbahasakan dengan sangat baik, kerap kali saya menemukan buku non-fiksi yang diterjemahkan secara 'sembarangan' sehingga isi buku malah menjadi sangat sulit dipahami. 


Friday, November 17, 2017

Review Buku "Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah"





Judul : Seorang Laki - Laki yang Keluar dari Rumah
Penulis : Puthut EA
Penerbit : Buku Mojok
Tahun : 2017




"Anda bisa membaca novel ini dari setiap bab bernomor ganjil sampai tuntas baru kemudian membaca bab genap atau membaca novel ini sebagaimana lazimnya, dari awal sampai akhir"


Begitulah tulisan yang tercetak di sampul belakang novel ini, saya memilih yang disebut terakhir.

Cukup sulit mendeskripsikan jalan cerita di novel ini tanpa mengandung spoiler karena setiap adegan atau  percakapan yang ada di dalam cerita ini seolah-olah adalah potongan puzzle yang ditinggalkan oleh penulis untuk kita rangkai sendiri menjadi jalan cerita yang utuh. Secara garis besar, novel ini menceritakan tentang Pandu dan Budiman berikut konflik-konflik yang dialami keduanya, baik konflik asmara, keluarga, persahabatan atau pekerjaan.  Jalan cerita yang penuh twist adalah bumbu tersendiri yang membuat saya segera ingin menyelesaikan membaca novel ini, saya yakin ada rahasia besar yang terungkap akhir novel, dan ternyata  saya tidak salah.

Dengan bahasa yang ringan, novel ini terasa mengalir begitu lembut ketika dibaca, tidak ada rasa tergesa-gesa meskipun banyak adegan menegangkan yang disajikan.

Thursday, November 16, 2017

Review Buku "Sunan Ngeloco: Balada Cinta Trijoko & Sundari"





Judul : Sunan Ngeloco: Balada Cinta Trijoko dan Sundari
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : BASABASI
Tahun : 2017



“Telek bebek!” , ”Asu!”, “Cocotmu!”

Jika merasa risih dengan umpatan-umpatan di atas lebih baik urungkan niat membeli atau membaca buku ini karena akan ada lusinan pisuhan-pisuhan lain di sepanjang novel 171 halaman ini. Dan lagi, yang tabu dengan bahasan onani, masturbasi, ya ... segala sesuatu yang ada hubungannya dengan kelamin juga mending menghindari buku ini. Diberi label 18­+, tentu saja ceritanya tidak jauh-jauh dengan alat vital dan sekitarnya.


Bercerita tentang Trijoko, nama aslinya Gunawan Tri Atmojo, yang berusaha mendapatkan cinta Niken, yang kemudian mendapat panggilan Sundari karena alasan yang benar-benar di luar akal. Sundari adalah akronim Sun (dari bahasa Jawa yang artinya cium) Dada Kiri karena payudara kirinya berukuran lebih besar daripada yang kanan. Hubungan percintaan mereka tentu saja tidak mulus, mulai dari fase pedekate sudah banyak tantangan yang dihadapi Trijoko alias Gunawan. Beruntung Trijoko punya teman-teman yang setia membantunya mewujudkan keinginannya berpacaran dengan Niken alias Sundari. Klise memang, namun tidak seperti kebanyakan novel romansa picisan, akan ada banyak kekonyolan-kekonyolan sepanjang cerita.


Novel ini sebenarnya diangkat dari gabungan cerpen-cerpen di buku kumpulan cerpen Pelisaurus tulisan Gunawan Tri Atmojo (ya, namanya memang sama dengan tokoh di novel Sunan Ngeloco) yang sudah terbit lebih dahulu, namun membaca Sunan Ngeloco tanpa membaca Pelisaurus dahulu bukanlah suatu masalah besar, Edi AH Iyubenu dengan cerdas bisa menyampaikan ide cerita  tanpa berkurang sedikitpun kadar kelucuannya. Banyaknya peristiwa-peristiwa tak terbayangkan yang diceritakan dengan humor-humor segar beberapa kali membuat saya harus berhenti di tengah-tengah paragraf hanya untuk tertawa. Terakhir, jika anda-anda semua ingin memperkaya khazanah kosa kata umpatan dan teknik mengumpat yang baik dan benar, tentu novel ini patut untuk ditamatkan.



”Kebahagiaan itu seperti sempak yang kamu pakai. Orang lain hanya bisa menebak-nebak model dan warnanya. Tetap hanya kamu, Tuhan, dan pacar ganasssmu yang mengetahui wujud aslinya”

(Sunan Ngeloco, halaman 126)

Tuesday, October 31, 2017

Melihat Secara Berbeda Peristiwa 30 September 1965

29 September 2017


Hari-hari ini sedang ramai bahas kebangkitan PKI. bahkan ada pejabat yang bilang kalau PKI sudah punya 15 juta anggota. Panglima TNI beberapa waktu lalu menganjurkan agar film Penumapasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar kembali, malah dianjurkan dibuat acara nonton bareng. Sepanjang orde baru, kita praktis hanya dijejali satu narasi tentang peristiwa tragis terbunuhnya tujuh jenderal angkatan darat di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965, yakni oleh Partai Komunis Indonesia. Namun, pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang, baik simpatisan PKI maupun mereka yang hanya dituduh tanpa bukti, yang menjadi kelanjutan peristiwa diatas tidak pernah menjadi perhatian, dan tidak pernah masuk kurikulum pendidikan sejarah di sekolah.



Kami akan memberi anjuran buku yang mungkin bisa dibaca agar kita mempunyai perspektif berbeda tentang salah satu fase paling penting dari sejarah bangsa ini:

  1. “Madiun 1948: PKI Bergerak”, perisitiwa pemberontakan Madiun, selain pemberontakan PKI tahun 1926 kepada pemerintah kolonial Belanda, seringkali menjadi dalih bahwa PKI memang kejam, membunuh dengan sadis para kyai di pesantren-pesantren. 
  2. “Palu Arit di Ladang Tebu”, membahas tentang bagaimana pembunuhan kepada simpatisan PKI pada akhir 1965 sampai awal 1966 bisa begitu massif, apa yang telah dilakukan para kader PKI sebelum September 1965 sehingga bisa menimbulkan kebencian yang ketika disulut sedikit saja bisa menjadi suatu huru-hara besar, dan siapa saja pelakunya. Nah, di buku ini dibahas konflik-konflik antara simpatisan PKI dengan masyarakat utamanya di daerah perkebunan yang banyak terdapat buruh-buruh pabrik tebu. 
  3. “Teror Subuh di Kanigoro”, peristiwa yang diceritakan di buku ini juga dimasukkan menjadi prolog film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dimana digambarkan kalau para kader PKI berpakaian hitam-hitam masuk ke masjid tanpa melepas sepatu, menginjak-injak Al-Quran, dan membantai orang-orang di dalamnya. Ini kembali menjadi penggambaran kalau orang-orang PKI memang anti-agama. 
  4. “Dalih Pembunuhan Massal”, buku ini sempat dilarang oleh MA untuk diedarkan dan sekarang telah menjadi semacam buku babon tentang peristiwa 65 dan pembantaian setelahnya. Di buku ini dijelaskan secara mendetil dan runtut tentang apa saja yang terjadi dan melatarbelakangi juga menawarkan alternatif dalang pembunuhan para jenderal di akhir September. (lanjut di kolom komentar). 
  5. Novel “September” yang sempat menghilang dari peredaran pada masa Orde Baru karena meskipun diceritakan secara fiksi, namun tokoh-tokohnya berdasar para figur yang terlibat ketika pemberontakan 65. 
  6. “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, menjelaskan bagaimana orde baru terus saja mempropagandakan anti-PKI melalui produk-produk budaya seperti sastra, dan film, termasuk film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI besutan Arifin C. Noer. 
  7. “Buku Putih Benturan NU-PKI 1948-1965” yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. NU dan Ansor seringkali dituduh bersama TNI menjadi pihak yang ikut andil membantai anggota PKI paska pemberontakan 65. Melalui buku ini NU menyampaikan bahwa konfliknya dengan PKI sebenarnya terlah terjadi sejak lama dan sangat kompleks, dan kyai-kyai NU banyak yang telah  menjadi korban kesewenang-wenangan PKI. 
  8. Terakhir adalah buku-buku yang  membahas tentang bagaimana orang-orang yang dituduh PKI didiskriminasi, dibunuh, disiksa, dipenjara tanpa pengadilan, dibuang ke pulau terpencil yang jauh, dan ada pula yang dicabut kewarganegaraannya sehingga tidak bisa pulang ke Indonesia. Selain mereka pribadi, keluarganya pun hidup dalam ketakutan, tidak punya peluang yang sama dengan orang lain dalam hal mencari pekerjaan dan semacamnya. Buku-buku yang bisa dibaca antara lain: "Suara di Balik Prahara" yang berisi berbagai macam testimoni korban kekerasan pasca peristiwa 65, "Diburu di Pulau Buru" dan "Memoar Pulau Buru" tulisan Hersri Setiawan, yang disebut terakhir juga sempat dibuat film. Lalu ada "Nyany Sunyi Seorang Bisu" karya Pramoedya Ananta Toer.

Sekali lagi, kami bukan berniat menghakimi salah satu pihak adalah korban, sedangkan pihak lainnya adalah pelaku. Sejarah bukannlah sesuatu yang hitam-putih, tidak ada orang yang 100% baik dan tidak ada pula orang yang mutlak jahat. Kondisi saat itu pun serba sulit, antara membunuh atau dibunuh. Semakin banyak kita belajar melalui berbagai macam sudut pandang akan memberikan gambaran lebih objektif tentang suatu hal sehingga kita bisa berlaku adil terhadap suatu perkara dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.