Wednesday, December 6, 2017

Review Buku "Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia"







Judul : Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia
Penulis : Yuval Noah Harari
Penerbit : KPG
Tahun : 2017



Luar biasa!! Ini adalah buku non-fiksi terbaik yang pernah saya baca!! Pertama kali terbit pada tahun 2011 dalam bahasa Israel, dialihbahasakan menjadi bahasa Inggris pada 2014, akhirnya tahun ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. 

Langsung saja, membaca buku ini kita seperti dihadapkan pada diorama super besar yang memajang kehidupan manusia mulai dari puluhan ribu tahun lalu ketika kita, Homo sapiens, masih hidup di sudut timur Afrika, berbagi tempat di Bumi dengan Homo-Homo lain. Berangsur-angsur Homo-Homo lain punah lalu kita yang pada awalnya hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan mulai bercocok tanam, mendirikan sistem pemerintahan, mengenal uang, menerapkan sistem ekonomi, menjelajah dunia baru dan mencipta berbagai macam teknologi sampai saat ini. 

Secara garis besar penulis membagi menjadi tiga fase perkembangan umat manusia: Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains. Dalam revolusi kognitif kita belajar berkomunikasi, belajar bersosialisasi, dan belajar bekerja sama dengan individu lain. Pada masa revolusi pertanian uang mulai digunakan, kita mendirikan imperium-imperium. Kemudian pada masa revolusi sains kita bisa meninggalkan jejak di bulan, menciptakan banyak hal yang bahkan tak pernah terbayangkan oleh nenek moyang kita. 

Sepanjang 500 halaman, penulis dengan luar biasa baik menjelaskan yang tiap bab yang dibagi lagi menjadi beberapa sub-bab. Sangat mudah dipahami bahkan oleh orang yang awam tentang biologi, paleontologi, sosiologi dan ilmu ekonomi seperti saya karena selalu disertakan contoh-contoh ringan tapi mengena. Misalnya ketika menjelaskan tentang 'fiksi korporasi', penulis memberi contoh sebuah perusahaan mobil Peugeot. Disebut fiksi karena memang secara kasat mata perusahaan (bukan gedung kantornya ataupun produknya karena meskipun gedung kantornya  runtuh atau semua produknya hancur pun Peugeot masih eksis) tersebut tidak ada. Peugeot mungkin hanya berupa selembar kertas yang diterbitkan otoritas tertentu. Sama halnya dengan fiksi agama, fiksi hak asasi manusia, dan fiksi bangsa yang menurut penulis juga tidak pernah ada tapi kita Homo sapiens bisa sepakat untuk mempercayainya bahkan hidup berdasarkan nilai-nilai agama, HAM, dan nasionalisme. Kemudian ada penjelasaan tentang uang, konsumerisme, sistem kapitalisme dan masih banyak lainnya. Intinya, penulis menjelaskan dengan detail bagaimana sejarah selama 100.000 tahun kebelakang telah membentuk kita menjadi manusia seperti sekarang. 

Sedikit kritik untuk buku ini hanya pada skeptisme penulis terhadap manusia saat ini yang dianggap sebagai entitas perusak keseimbangan Bumi dengan bagaimana manusia mengeksploitasi hewan-hewan ternak demi keuntungan spesies manusia belaka, bagaimana manusia menyebabkan kepunahan ribuan spesies dan sinisme terhadap agama yang pasti membuat beberapa pembaca agak gelisah di tempat duduknya.

Pada hampir akhir buku, berisi 'renungan' tentang kebahagiaan. Apakah Homo sapiens saat ini yang hidup nyaman di rumah hangat bersama keluarga lebih bahagia daripada leluhur kita yang tiap hari berburu hewan-hewan dan tinggal di gua yang dingin dan gelap bila malam tiba? 

Bagian terkhir diisi dengan apa saja pencapaian manusia di 1-2 abad terakhir dan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi jika manusia terus mengembangkan rekayasa genetika, menciptakan organ-organ bionik. Akankah manusia bisa menjadi abadi dan melenyapkan Maut?

Saya sangat menyarankan bagi siapa saja untuk membaca buku ini karena memang benar-benar buku yang mencerahkan, buku yang akan menjadikan kita Homo sapiens seutuhnya, seperti maknanya "manusia yang bijak". 

Terakhir, bicara tentang buku terjemahan tentu tidak lepas dari penerjemahnya. Saya angkat topi untuk penerjemah buku ini karena bisa mengalihbahasakan dengan sangat baik, kerap kali saya menemukan buku non-fiksi yang diterjemahkan secara 'sembarangan' sehingga isi buku malah menjadi sangat sulit dipahami. 


Friday, November 17, 2017

Review Buku "Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah"





Judul : Seorang Laki - Laki yang Keluar dari Rumah
Penulis : Puthut EA
Penerbit : Buku Mojok
Tahun : 2017




"Anda bisa membaca novel ini dari setiap bab bernomor ganjil sampai tuntas baru kemudian membaca bab genap atau membaca novel ini sebagaimana lazimnya, dari awal sampai akhir"


Begitulah tulisan yang tercetak di sampul belakang novel ini, saya memilih yang disebut terakhir.

Cukup sulit mendeskripsikan jalan cerita di novel ini tanpa mengandung spoiler karena setiap adegan atau  percakapan yang ada di dalam cerita ini seolah-olah adalah potongan puzzle yang ditinggalkan oleh penulis untuk kita rangkai sendiri menjadi jalan cerita yang utuh. Secara garis besar, novel ini menceritakan tentang Pandu dan Budiman berikut konflik-konflik yang dialami keduanya, baik konflik asmara, keluarga, persahabatan atau pekerjaan.  Jalan cerita yang penuh twist adalah bumbu tersendiri yang membuat saya segera ingin menyelesaikan membaca novel ini, saya yakin ada rahasia besar yang terungkap akhir novel, dan ternyata  saya tidak salah.

Dengan bahasa yang ringan, novel ini terasa mengalir begitu lembut ketika dibaca, tidak ada rasa tergesa-gesa meskipun banyak adegan menegangkan yang disajikan.

Thursday, November 16, 2017

Review Buku "Sunan Ngeloco: Balada Cinta Trijoko & Sundari"





Judul : Sunan Ngeloco: Balada Cinta Trijoko dan Sundari
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : BASABASI
Tahun : 2017



“Telek bebek!” , ”Asu!”, “Cocotmu!”

Jika merasa risih dengan umpatan-umpatan di atas lebih baik urungkan niat membeli atau membaca buku ini karena akan ada lusinan pisuhan-pisuhan lain di sepanjang novel 171 halaman ini. Dan lagi, yang tabu dengan bahasan onani, masturbasi, ya ... segala sesuatu yang ada hubungannya dengan kelamin juga mending menghindari buku ini. Diberi label 18­+, tentu saja ceritanya tidak jauh-jauh dengan alat vital dan sekitarnya.


Bercerita tentang Trijoko, nama aslinya Gunawan Tri Atmojo, yang berusaha mendapatkan cinta Niken, yang kemudian mendapat panggilan Sundari karena alasan yang benar-benar di luar akal. Sundari adalah akronim Sun (dari bahasa Jawa yang artinya cium) Dada Kiri karena payudara kirinya berukuran lebih besar daripada yang kanan. Hubungan percintaan mereka tentu saja tidak mulus, mulai dari fase pedekate sudah banyak tantangan yang dihadapi Trijoko alias Gunawan. Beruntung Trijoko punya teman-teman yang setia membantunya mewujudkan keinginannya berpacaran dengan Niken alias Sundari. Klise memang, namun tidak seperti kebanyakan novel romansa picisan, akan ada banyak kekonyolan-kekonyolan sepanjang cerita.


Novel ini sebenarnya diangkat dari gabungan cerpen-cerpen di buku kumpulan cerpen Pelisaurus tulisan Gunawan Tri Atmojo (ya, namanya memang sama dengan tokoh di novel Sunan Ngeloco) yang sudah terbit lebih dahulu, namun membaca Sunan Ngeloco tanpa membaca Pelisaurus dahulu bukanlah suatu masalah besar, Edi AH Iyubenu dengan cerdas bisa menyampaikan ide cerita  tanpa berkurang sedikitpun kadar kelucuannya. Banyaknya peristiwa-peristiwa tak terbayangkan yang diceritakan dengan humor-humor segar beberapa kali membuat saya harus berhenti di tengah-tengah paragraf hanya untuk tertawa. Terakhir, jika anda-anda semua ingin memperkaya khazanah kosa kata umpatan dan teknik mengumpat yang baik dan benar, tentu novel ini patut untuk ditamatkan.



”Kebahagiaan itu seperti sempak yang kamu pakai. Orang lain hanya bisa menebak-nebak model dan warnanya. Tetap hanya kamu, Tuhan, dan pacar ganasssmu yang mengetahui wujud aslinya”

(Sunan Ngeloco, halaman 126)

Tuesday, October 31, 2017

Melihat Secara Berbeda Peristiwa 30 September 1965

29 September 2017


Hari-hari ini sedang ramai bahas kebangkitan PKI. bahkan ada pejabat yang bilang kalau PKI sudah punya 15 juta anggota. Panglima TNI beberapa waktu lalu menganjurkan agar film Penumapasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar kembali, malah dianjurkan dibuat acara nonton bareng. Sepanjang orde baru, kita praktis hanya dijejali satu narasi tentang peristiwa tragis terbunuhnya tujuh jenderal angkatan darat di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965, yakni oleh Partai Komunis Indonesia. Namun, pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang, baik simpatisan PKI maupun mereka yang hanya dituduh tanpa bukti, yang menjadi kelanjutan peristiwa diatas tidak pernah menjadi perhatian, dan tidak pernah masuk kurikulum pendidikan sejarah di sekolah.



Kami akan memberi anjuran buku yang mungkin bisa dibaca agar kita mempunyai perspektif berbeda tentang salah satu fase paling penting dari sejarah bangsa ini:

  1. “Madiun 1948: PKI Bergerak”, perisitiwa pemberontakan Madiun, selain pemberontakan PKI tahun 1926 kepada pemerintah kolonial Belanda, seringkali menjadi dalih bahwa PKI memang kejam, membunuh dengan sadis para kyai di pesantren-pesantren. 
  2. “Palu Arit di Ladang Tebu”, membahas tentang bagaimana pembunuhan kepada simpatisan PKI pada akhir 1965 sampai awal 1966 bisa begitu massif, apa yang telah dilakukan para kader PKI sebelum September 1965 sehingga bisa menimbulkan kebencian yang ketika disulut sedikit saja bisa menjadi suatu huru-hara besar, dan siapa saja pelakunya. Nah, di buku ini dibahas konflik-konflik antara simpatisan PKI dengan masyarakat utamanya di daerah perkebunan yang banyak terdapat buruh-buruh pabrik tebu. 
  3. “Teror Subuh di Kanigoro”, peristiwa yang diceritakan di buku ini juga dimasukkan menjadi prolog film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dimana digambarkan kalau para kader PKI berpakaian hitam-hitam masuk ke masjid tanpa melepas sepatu, menginjak-injak Al-Quran, dan membantai orang-orang di dalamnya. Ini kembali menjadi penggambaran kalau orang-orang PKI memang anti-agama. 
  4. “Dalih Pembunuhan Massal”, buku ini sempat dilarang oleh MA untuk diedarkan dan sekarang telah menjadi semacam buku babon tentang peristiwa 65 dan pembantaian setelahnya. Di buku ini dijelaskan secara mendetil dan runtut tentang apa saja yang terjadi dan melatarbelakangi juga menawarkan alternatif dalang pembunuhan para jenderal di akhir September. (lanjut di kolom komentar). 
  5. Novel “September” yang sempat menghilang dari peredaran pada masa Orde Baru karena meskipun diceritakan secara fiksi, namun tokoh-tokohnya berdasar para figur yang terlibat ketika pemberontakan 65. 
  6. “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, menjelaskan bagaimana orde baru terus saja mempropagandakan anti-PKI melalui produk-produk budaya seperti sastra, dan film, termasuk film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI besutan Arifin C. Noer. 
  7. “Buku Putih Benturan NU-PKI 1948-1965” yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. NU dan Ansor seringkali dituduh bersama TNI menjadi pihak yang ikut andil membantai anggota PKI paska pemberontakan 65. Melalui buku ini NU menyampaikan bahwa konfliknya dengan PKI sebenarnya terlah terjadi sejak lama dan sangat kompleks, dan kyai-kyai NU banyak yang telah  menjadi korban kesewenang-wenangan PKI. 
  8. Terakhir adalah buku-buku yang  membahas tentang bagaimana orang-orang yang dituduh PKI didiskriminasi, dibunuh, disiksa, dipenjara tanpa pengadilan, dibuang ke pulau terpencil yang jauh, dan ada pula yang dicabut kewarganegaraannya sehingga tidak bisa pulang ke Indonesia. Selain mereka pribadi, keluarganya pun hidup dalam ketakutan, tidak punya peluang yang sama dengan orang lain dalam hal mencari pekerjaan dan semacamnya. Buku-buku yang bisa dibaca antara lain: "Suara di Balik Prahara" yang berisi berbagai macam testimoni korban kekerasan pasca peristiwa 65, "Diburu di Pulau Buru" dan "Memoar Pulau Buru" tulisan Hersri Setiawan, yang disebut terakhir juga sempat dibuat film. Lalu ada "Nyany Sunyi Seorang Bisu" karya Pramoedya Ananta Toer.

Sekali lagi, kami bukan berniat menghakimi salah satu pihak adalah korban, sedangkan pihak lainnya adalah pelaku. Sejarah bukannlah sesuatu yang hitam-putih, tidak ada orang yang 100% baik dan tidak ada pula orang yang mutlak jahat. Kondisi saat itu pun serba sulit, antara membunuh atau dibunuh. Semakin banyak kita belajar melalui berbagai macam sudut pandang akan memberikan gambaran lebih objektif tentang suatu hal sehingga kita bisa berlaku adil terhadap suatu perkara dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.