Saturday, July 7, 2012

Ilmu Pengetahuan Musuh Agama (?)


Ketika itu akhir tahun 2010, di Jogjakarta. Saya berada disana untuk mewakili kampus kecil saya pada Kompetisi Bursa Saham Perguruan Tinggi Se-Jawa Bali di salah satu universitas swasta.
Kala itu, Jogja sedang berduka setelah meletusnya Gunung Merapi beberapa minggu sebelumnya. Tapi sisa-sisa amukannya masih sangat mudah ditemui. Saya masih ingat, tanaman di depan kamar hotel tempat saya menginap dedaunannya masih tertutup abu. Lumayan tebal, sehingga ketika saya menggoreskan ujung telunjuk saya di punggung daun, seketika jari saya itu menjadi berwarna kelabu.

Kompetisi dimulai pada jumat pagi, sampai kira-kira pukul sebelas siang karena bertepatan dengan jadwal solat Jumat. Agak lama saya mencari masjid untuk solat jumat, karena memang universitas tempat saya berlomba adalah universitas kristen yang tentu saja tidak punya masjid.
Ketika berjalan, saya berpikir, pasti tema khotbah jumat kali ini tentang bencana alam yang baru-baru ini menimpa Jogja. Dan benar saja, khatib berceramah dengan berapi-api menerangkan bagaimana kita sebagi umat Islam menerima bencana yang datang dari Allah ini. Ada keterangan yang menarik ketika khatib menyampaikan khotbahnya. Ketika itu, khatib membagi golongan orang-orang berdasarkan bagaimana cara mereka memandang suatu bencana alam yang datang dari Allah.
Dikatakan oleh khatib tersebut, jika para ilmuwan, ahli geologi, ahli geografi adalah golongan orang-orang tidak beriman  dan tidak bertuhan karena menghubungkan peristiwa gunung meletus ini dengan ilmu pengetahuan seperti pergeseran lempeng tektonik, peningkatan suhu kawah, ekskalasi kegempaan, atau lainnya. Disampaikan juga oleh khatib tersebut jika seharusnya kita  manusia harus menganggap  semua yang terjadi di muka Bumi adalah kehendak Allah SWT. Intinya, semakin orang berilmu, semakin dia akan melupakan Tuhannya.
Seketika itu, saya ingin teriak......
Hey!! God create us with biggest brain is for reasons!!”
“Tuhan punya alasan kenapa kita diciptakan dengan volume otak paling besar daripada makhluk hidup lainnya.”

Saya benar-benar tidak setuju dengan pendapat khatib di majelis tersebut. Bagaimana mungkin kita disebut tidak beriman jika kita berilmu pengetahuan.
Memang benar, kalau semua yang terjadi di bumi datangnya dari Allah, dari Tuhan. Tapi saya rasa kita juga harus belajar bagaimana segala sesuatu yang ada di Bumi ini bisa terjadi, bukan? Kita punya otak untuk berpikir, bukan? Kita harus belajar proses bukan? Bahkan Al-Quran diturunkan juga melalui proses yang panjang selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, bukan langsung berbentuk kitab yang sudah terjilid rapi seperti tugas akhir mahasiswa. Sel sperma dan sel telur pun harus menunggu selama sembilan bulan untuk bisa menjadi manusia.

Memang, Allah bisa dengan mudah, sangat mudah malahan menciptakan segala sesuatu hanya dengan kalimat kun fayakun. Tapi, akan sangat bodoh jika kita menelan teori kun fayakun   itu secara mentah-mentah. Kita tetap harus belajar bagaimana sesuatu bisa terjadi, tidak hanya mempasrahkan semuanya pada kalimat kun fayakun.

Saya juga heran, selama ini yang dikupas dari Al-Quran "hanya" sebatas akhlak, aqidah, tata cara beribadah dan hal-hal semacamnya. Memang sih, itu yang esensial dari kehidupan beragam, tapi sesungguhnya Al-Quran menyimpan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Teori big bang misalnya, baru ditemukan dalam beberapa puluh tahun kebelakang ini oleh ilmuwan modern. Ternyata teori tersebut sudah tercantum di Al-Quran sejak empat belas abad lalu!
Selain teori big bang, masih banyak lagi seperti teori evolusi makhluk hidup, anatomi tubuh manusia, susunan atssmosfer dan mungkin masih banyak lagi yang menunggu untuk ditemukan.

Pendapat saya, semakin orang berilmu pengetahuan, akan semakin paham bagaimana kebesaran Tuhan.  Jadi, masih ada alasan untuk mengatakan jika orang yang berilmu pengetahuan itu tidak beragama?