Tuesday, October 31, 2017

Melihat Secara Berbeda Peristiwa 30 September 1965

29 September 2017


Hari-hari ini sedang ramai bahas kebangkitan PKI. bahkan ada pejabat yang bilang kalau PKI sudah punya 15 juta anggota. Panglima TNI beberapa waktu lalu menganjurkan agar film Penumapasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar kembali, malah dianjurkan dibuat acara nonton bareng. Sepanjang orde baru, kita praktis hanya dijejali satu narasi tentang peristiwa tragis terbunuhnya tujuh jenderal angkatan darat di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965, yakni oleh Partai Komunis Indonesia. Namun, pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang, baik simpatisan PKI maupun mereka yang hanya dituduh tanpa bukti, yang menjadi kelanjutan peristiwa diatas tidak pernah menjadi perhatian, dan tidak pernah masuk kurikulum pendidikan sejarah di sekolah.



Kami akan memberi anjuran buku yang mungkin bisa dibaca agar kita mempunyai perspektif berbeda tentang salah satu fase paling penting dari sejarah bangsa ini:

  1. “Madiun 1948: PKI Bergerak”, perisitiwa pemberontakan Madiun, selain pemberontakan PKI tahun 1926 kepada pemerintah kolonial Belanda, seringkali menjadi dalih bahwa PKI memang kejam, membunuh dengan sadis para kyai di pesantren-pesantren. 
  2. “Palu Arit di Ladang Tebu”, membahas tentang bagaimana pembunuhan kepada simpatisan PKI pada akhir 1965 sampai awal 1966 bisa begitu massif, apa yang telah dilakukan para kader PKI sebelum September 1965 sehingga bisa menimbulkan kebencian yang ketika disulut sedikit saja bisa menjadi suatu huru-hara besar, dan siapa saja pelakunya. Nah, di buku ini dibahas konflik-konflik antara simpatisan PKI dengan masyarakat utamanya di daerah perkebunan yang banyak terdapat buruh-buruh pabrik tebu. 
  3. “Teror Subuh di Kanigoro”, peristiwa yang diceritakan di buku ini juga dimasukkan menjadi prolog film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dimana digambarkan kalau para kader PKI berpakaian hitam-hitam masuk ke masjid tanpa melepas sepatu, menginjak-injak Al-Quran, dan membantai orang-orang di dalamnya. Ini kembali menjadi penggambaran kalau orang-orang PKI memang anti-agama. 
  4. “Dalih Pembunuhan Massal”, buku ini sempat dilarang oleh MA untuk diedarkan dan sekarang telah menjadi semacam buku babon tentang peristiwa 65 dan pembantaian setelahnya. Di buku ini dijelaskan secara mendetil dan runtut tentang apa saja yang terjadi dan melatarbelakangi juga menawarkan alternatif dalang pembunuhan para jenderal di akhir September. (lanjut di kolom komentar). 
  5. Novel “September” yang sempat menghilang dari peredaran pada masa Orde Baru karena meskipun diceritakan secara fiksi, namun tokoh-tokohnya berdasar para figur yang terlibat ketika pemberontakan 65. 
  6. “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, menjelaskan bagaimana orde baru terus saja mempropagandakan anti-PKI melalui produk-produk budaya seperti sastra, dan film, termasuk film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI besutan Arifin C. Noer. 
  7. “Buku Putih Benturan NU-PKI 1948-1965” yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. NU dan Ansor seringkali dituduh bersama TNI menjadi pihak yang ikut andil membantai anggota PKI paska pemberontakan 65. Melalui buku ini NU menyampaikan bahwa konfliknya dengan PKI sebenarnya terlah terjadi sejak lama dan sangat kompleks, dan kyai-kyai NU banyak yang telah  menjadi korban kesewenang-wenangan PKI. 
  8. Terakhir adalah buku-buku yang  membahas tentang bagaimana orang-orang yang dituduh PKI didiskriminasi, dibunuh, disiksa, dipenjara tanpa pengadilan, dibuang ke pulau terpencil yang jauh, dan ada pula yang dicabut kewarganegaraannya sehingga tidak bisa pulang ke Indonesia. Selain mereka pribadi, keluarganya pun hidup dalam ketakutan, tidak punya peluang yang sama dengan orang lain dalam hal mencari pekerjaan dan semacamnya. Buku-buku yang bisa dibaca antara lain: "Suara di Balik Prahara" yang berisi berbagai macam testimoni korban kekerasan pasca peristiwa 65, "Diburu di Pulau Buru" dan "Memoar Pulau Buru" tulisan Hersri Setiawan, yang disebut terakhir juga sempat dibuat film. Lalu ada "Nyany Sunyi Seorang Bisu" karya Pramoedya Ananta Toer.

Sekali lagi, kami bukan berniat menghakimi salah satu pihak adalah korban, sedangkan pihak lainnya adalah pelaku. Sejarah bukannlah sesuatu yang hitam-putih, tidak ada orang yang 100% baik dan tidak ada pula orang yang mutlak jahat. Kondisi saat itu pun serba sulit, antara membunuh atau dibunuh. Semakin banyak kita belajar melalui berbagai macam sudut pandang akan memberikan gambaran lebih objektif tentang suatu hal sehingga kita bisa berlaku adil terhadap suatu perkara dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.