Monday, October 1, 2012

Our GIGS These Days.

Apa yang mudah kita temukan ketika konser musik di tanah air belakangan ini? Penonton yang beringas dan mudah tersulut emosinya ketika hanya bersenggolan dengan penonton lainnya? Bukan. Anak-anak dibawah umur yang mengkonsumsi musik dan lirik yang belum cocok untuk mereka? Bukan juga.



Coba perhatikan kerumunan penonton di sebuah konser musik. Banyak dari mereka yang mengacungkan tangannya, tapi bukan untuk mengikuti irama musik ataupun melambai kepada artis yang ada di atas panggung, tapi mereka mengangakat gadget mereka. Mereka sibuk dengan merekam ataupun memotret. Mereka tidak lagi menikmati musiknya, mereka tidak lagi bernyanyi bersama, berdansa, ataupun membuat mosh pit.


Memang sih,  tidak ada yang salah dengan itu semua, tapi kan sayang kalau kita beli tiket mahal tapi tidak untuk menikmati pertunjukkan diatas panggung. Kita hanya sibuk mengarahkan handphone kita. Apalagi kalau jaraknya terlalu jauh dengan stage, hasil rekaman atau potretnya kan juga tidak terlalu bagus untuk dilihat lagi. 


Coba lihat konser musik di Glastonbury ataupun Woodstock Festival, hampir tidak ada penonton yang memotret ataupun merekam pertunjukkan diatas panggung dengan gadget mereka. Mereka menari dan bernyanyi bersama.
Memang sih, saya sendiri belum pernah datang ke dua acara tersebut, tapi paling tidak kan bisa lihat di TV atau YouTube. :D
 


Cuma ajakan, ayo kita bernyanyi bersama, ayo melompat bersama, ayo kita berteriak bersama, ayo kita pompa adrenalin kita. Jangan jadi anti-sosial!



(foto-foto diatas diambil penulis ketika Black Ocean Festival di Surabaya, 29 September 2012)

Wednesday, September 12, 2012

"Kamu muslim?', "Sholat lima waktu?"

Sore itu saya yang kebetulan pengurus klub sepak bola peserta liga nasional sedang mengikuti seleksi pemain baru untuk menghadapi musim kompetisi yang akan datang. Peserta seleksi adalah para pemain muda lokal yang mungkin bermimpi menjadi Lionell Messi atau Beckham masa depan. 
Kira-kira 45 menit sebelum seleksi usai, seorang warga negara asing datang. Tinggi, kurus dan wajahnya menunjukkan dia adalah ras arab. Tapi anehnya, dia cuma membawa tas palstik besar warna merah yang isinya sepatu dan kaos. Setelah berbincang sebentar dengan asisten pelatih, pemuda itu duduk dipingggir lapangan untuk mengganti sandalnya dengan sepatu. Saya tanya ke asisiten pelatih mau apa dia datang kesini. Asisten pelatih bilang kalu dia mau ikut seleksi. Secara postur saya benar-benar tidak yakin apakah dia mampu. 
Kira-kira setelah setengah jam hanya duduk dipinggir lapangan, akhirnya dia dipanggil untuk ikut bermain. Benar dugaaan saya, secara kemampuan dia dibawah rata-rata pemain lainnya. Selama sepuluh menit bermain hanya beberapa kali memegang bola, itupun bisa dengan mudah direbut pemain lawan. Dia hanya menjadi bulan-bulanan penonton yang kecewa karena mungkin sudah berekspetasi untuk melihat permainan cantik seorang pemain asing.
Seleksi selesai pukul setengah enam, saya lihat dia berjalan keluar stadion sendirian. Karena kasihan, saya dekati dia untuk menawarkan tumpangan. 
"Where will you go?" kata saya.
"Bhineka Hotel", dia menjawab.
"Let me accompany you"' saya sambil membuka pintu mobil.
"Thank you".

Hening kira-kira dua menit.

"What's your name?", saya membuka obrolan.
"Eden", jawabnya singkat.
"When you arrived in Gresik?" tanya saya.
"Today". kembali dijawab dengan singkat. Saya hanya menggangguk.
"Who are you?" gantian dia yang bertanya.
"I'm club staff". saya menjawab sambil tersenyum.
"Kamu lihat tadi saya main?" dia bertanya dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.
"Ya, saya dipinggir lapangan" jawab saya dengan kecepatan pelan agar dia paham.
"Bagaimana saya main tadi?" tanyanya lagi. Ternyata bahasa Indonesianya lumayan.
Saya berpikir beberapa saat. "Not bad". ujar saya spontan.
"Kata pelatih saya kurang sprint". Dia menambahi.
"Ya, sepakbola Indonesia main keras" ucap saya dengan aksen bule.

Kami diam lagi, saya lihat dia sibuk dengan handphone-nya.
"Kamu darimana?" Saya kembali membuka percakapan.
"Perancis" lagi-lagi dijawab dengan singkat.
"Orang tua aseli Perancis?" Saya ingin tahu karena wajahnya campuran Arab.
"No, orang tua Aljazair." jawab dia dengan tersenyum.
"Wow, like Zidane." jawab saya menyebutkan legenda sepakbola Perancis, Zinedine Zidane yang juga keturunan Aljazair.
Dia tertawa.

Tepat ketika kami melewati Masjid Agung Gresik, adzan maghrib sedang berkumandang.
"Kamu muslim?" dia mengajukan yang membuat saya sedikit kaget.
"Ya." saya menjawab sambil tersenyum.
"Kamu sholat lima waktu?" dia kembali memberi pertanyaan sulit.
Saya tidak mau berbohong kepada dia, ataupun kepada Tuhan. Saya tidak menjawab, hanya tersenyum.

Wednesday, August 29, 2012

Meanwhile in Gresik

Kebetulan mengikuti prosesi Upacara Penuruan Bendera di Alun-Alun Kota Gresik, tanggal 17 Agustus yang lalu. Ada yang menarik ketika ditengah-tengah prosesi upacara yang selama ini kita kenal cukup sakral. Seorang remaja tanggung, saya bilang tanggung karena memang penampilannya serba nanggung, celana pendek, kaos oblong, sandal selop yang tidak jelas bentuknya. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan peserta upacara lainnya yang memakai jas dan bapak-bapak aparat seperti Polisi, TNI, dan Satpol PP pun berseragam lengkap. Tapi, kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya, bukan?. Dia menenteng kamera DSLR. Sejauh pengamatan saya, sebelum upacara dimulai pun dia sudah berada di sekitaran lokasi.
Ketika puluhan anggota pasukan pengibar bendera sampai di tengah-tengah lapangan, tiba-tiba saja  dia mendekat, sangat dekat kemudian membidik mereka dengan kameranya, beberapa belas detik dia berada disana. Setelah puas, dia berlari begitu saja . Benar-benar mengganggu. 





Hal yang sama terjadi lagi ketika prosesi penurunan bendera. Dia tiba-tiba mendekat ke belakang seorang anggota Paskibra dan membidik gambar dengan kameranya. Mengganggu dan mengurangi nilai kesakralan sebuah upacara bendera. Sayang, tidak ada petugas pengamanan yang menegur dia.


Saya tahu maksud dia mendekat adalah untuk memperoleh gambar bagus. Tapi, seharusnya dia menggunakan cara-cara yang 'terpuji' dan tidak mengganggu orang lain.


Okultasi Jupiter

Jupiter Occultation (Photo taken on August 8th 2012 2:35 am)

Foto diambil dari pekarangan Masjid di belakang rumah menjelang waktu sahur. Titik cerah kecil diatas bulan adalah planet Jupiter yang akan tertutup oleh bulan. Fenomena ini biasa disebut Gerhana Jupiter, karena Jupiter untuk beberapa saat akan tertutup oleh bulan.

Saturday, July 7, 2012

Ilmu Pengetahuan Musuh Agama (?)


Ketika itu akhir tahun 2010, di Jogjakarta. Saya berada disana untuk mewakili kampus kecil saya pada Kompetisi Bursa Saham Perguruan Tinggi Se-Jawa Bali di salah satu universitas swasta.
Kala itu, Jogja sedang berduka setelah meletusnya Gunung Merapi beberapa minggu sebelumnya. Tapi sisa-sisa amukannya masih sangat mudah ditemui. Saya masih ingat, tanaman di depan kamar hotel tempat saya menginap dedaunannya masih tertutup abu. Lumayan tebal, sehingga ketika saya menggoreskan ujung telunjuk saya di punggung daun, seketika jari saya itu menjadi berwarna kelabu.

Kompetisi dimulai pada jumat pagi, sampai kira-kira pukul sebelas siang karena bertepatan dengan jadwal solat Jumat. Agak lama saya mencari masjid untuk solat jumat, karena memang universitas tempat saya berlomba adalah universitas kristen yang tentu saja tidak punya masjid.
Ketika berjalan, saya berpikir, pasti tema khotbah jumat kali ini tentang bencana alam yang baru-baru ini menimpa Jogja. Dan benar saja, khatib berceramah dengan berapi-api menerangkan bagaimana kita sebagi umat Islam menerima bencana yang datang dari Allah ini. Ada keterangan yang menarik ketika khatib menyampaikan khotbahnya. Ketika itu, khatib membagi golongan orang-orang berdasarkan bagaimana cara mereka memandang suatu bencana alam yang datang dari Allah.
Dikatakan oleh khatib tersebut, jika para ilmuwan, ahli geologi, ahli geografi adalah golongan orang-orang tidak beriman  dan tidak bertuhan karena menghubungkan peristiwa gunung meletus ini dengan ilmu pengetahuan seperti pergeseran lempeng tektonik, peningkatan suhu kawah, ekskalasi kegempaan, atau lainnya. Disampaikan juga oleh khatib tersebut jika seharusnya kita  manusia harus menganggap  semua yang terjadi di muka Bumi adalah kehendak Allah SWT. Intinya, semakin orang berilmu, semakin dia akan melupakan Tuhannya.
Seketika itu, saya ingin teriak......
Hey!! God create us with biggest brain is for reasons!!”
“Tuhan punya alasan kenapa kita diciptakan dengan volume otak paling besar daripada makhluk hidup lainnya.”

Saya benar-benar tidak setuju dengan pendapat khatib di majelis tersebut. Bagaimana mungkin kita disebut tidak beriman jika kita berilmu pengetahuan.
Memang benar, kalau semua yang terjadi di bumi datangnya dari Allah, dari Tuhan. Tapi saya rasa kita juga harus belajar bagaimana segala sesuatu yang ada di Bumi ini bisa terjadi, bukan? Kita punya otak untuk berpikir, bukan? Kita harus belajar proses bukan? Bahkan Al-Quran diturunkan juga melalui proses yang panjang selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, bukan langsung berbentuk kitab yang sudah terjilid rapi seperti tugas akhir mahasiswa. Sel sperma dan sel telur pun harus menunggu selama sembilan bulan untuk bisa menjadi manusia.

Memang, Allah bisa dengan mudah, sangat mudah malahan menciptakan segala sesuatu hanya dengan kalimat kun fayakun. Tapi, akan sangat bodoh jika kita menelan teori kun fayakun   itu secara mentah-mentah. Kita tetap harus belajar bagaimana sesuatu bisa terjadi, tidak hanya mempasrahkan semuanya pada kalimat kun fayakun.

Saya juga heran, selama ini yang dikupas dari Al-Quran "hanya" sebatas akhlak, aqidah, tata cara beribadah dan hal-hal semacamnya. Memang sih, itu yang esensial dari kehidupan beragam, tapi sesungguhnya Al-Quran menyimpan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Teori big bang misalnya, baru ditemukan dalam beberapa puluh tahun kebelakang ini oleh ilmuwan modern. Ternyata teori tersebut sudah tercantum di Al-Quran sejak empat belas abad lalu!
Selain teori big bang, masih banyak lagi seperti teori evolusi makhluk hidup, anatomi tubuh manusia, susunan atssmosfer dan mungkin masih banyak lagi yang menunggu untuk ditemukan.

Pendapat saya, semakin orang berilmu pengetahuan, akan semakin paham bagaimana kebesaran Tuhan.  Jadi, masih ada alasan untuk mengatakan jika orang yang berilmu pengetahuan itu tidak beragama?

Tuesday, May 29, 2012

"Kita Ini Umat Miskin!"

"Kita ini umat miskin!". Coba lihat, untuk membangun musholla saja kita harus "mengemis" minta sumbangan mulai dari rumah kerumah, membuka kotak amal di tengah jalan, memasang banner ukuran raksasa, sampai merekrut executive marketing berpeci yang kemana-mana membawa map dan amplop.
Tapi, coba perhatikan, siapa yang menjadikan pengusaha rokok kaya? Siapa yang menghabiskan uang jutaan rupiah untuk memenuhi udara kita dengan asap beracun? Siapa yang membeli makanan hanya untuk dibuang kembali? Jawabannya KITA, kan?

Tapi kenapa ada perbedaan yang mencolok seperti itu? Kenapa tidak ada kesadaran untuk bersedekah, kenapa tidak ada niatan untuk beramal jariyah? Kenapa orang melakukan ibadah (sedekah dan amal jariyah) harus jemput bola? Lalu siapa yang salah? Kita? atau malah panitia pembangunan musholla?

Saat ini, kita sudah tidak bisa lagi saling percaya. Kita sudah saling mencurigai.
Mungkin, kita tidak mau bersedekah karena sudah tidak lagi percaya pada mereka para panitia. Kita tidak tahu apa yang mereka lakukan dengan uang kita, dikemanakan uang kita? Apakah benar-benar untuk membangun musholla?

Tiap tahun, jelang Idul Fitri di media cetak dan elektronik pasti ditemukan berita, "Pembagian Zakat Ricuh, Sekian Orang Tewas Terinjak-Injak". Lalu muncul pertanyaan, kenapa para saudagar itu membagikan sendiri zakat mereka, kenapa tidak melalui Badan Amil Zakat resmi pemilik pemerintah? Jawabannya pasti sama, karena mereka tidak percaya pada lembaga-lembaga macam itu. Para saudagar itu lebih lega kalau mereka tahu siapa yang menerima zakat mereka.

Jika saja sistem manajemen sedekah, zakat, dan amal jariyah dikelola secara bersih, transparan dan profesional pasti kita tidak menjadi umat yang miskin. Kita tidak mengemis.