Wednesday, December 2, 2015

Pentingnya Punya Teman yang Menyebalkan



Facebook
, twitter, Instagram, Line, Path, dan mungkin Blackberry Messengger. Beberapa dari kita punya semua akun dan teman disana, jumlahnya  ratusan orang, yang artinya ratusan sifat manusia yang berbeda. Ada yang menyenangkan, informatif, dan menghibur, tapi tidak sedikit juga yang menyebalkan. 

Beberapa yang menyebalkan (versi saya) misalnya seorang teman di Path yang setiap hari upload foto makanannya, lengkap mulai sarapan, makan siang, makan malam, kadang juga kudapannya tak lupa diupload sambil diberi caption seakan-akan merasa berdosa karena jadi gendut gara-gara kebanyakan makan. 

Atau mungkin seorang teman lain di instagram, yang baru pertama kali punya bayi, mulai anaknya masih merah sampai sekarang bisa berjalan, kita para follower "dipaksa" menjadi saksi tumbuh kembang buah hatinya. Bagaimana tidak, kalau setiap hari yang diunggah foto anaknya sedang minum susu, tidur, mandi, pergi jalan-jalan, pakai baju baru. Kita juga menjadi saksi ketika anaknya pertama kali mengucap "mama dan papa". 

Di facebook kita mungkin punya teman yang sering sekali mengirim undangan game, atau suka men-share berita-berita hoax yang tujuannya provokasi. Mudah mengetahuinya karena biasanya berita-berita semacam itu diberi judul bombastis, misal "Subhanallah!! Terungkap Kejahatan Yahudi bla bla bla..." atau "Allahu Akbar, Ternyata Amerika Dalang bla bla bla". 

Di twitter, ada yang kerjanya me-retweet akun yang sangat saya benci, akun ramalan bintang. Sialnya lagi beberapa orang melakukan retweet brutal sampai puluhan tweet yang di RT sekaligus. Mencemari timeline, kan? 

Atau di Blackberry Messengger ada yang lima menit sekali update Personal Message, dan yang di-update ya itu-itu saja, mengeluh, marah-marah, dan sedih. Suram sekali hidupnya, ya? 

Kemudian pasti banyak dari kalian yang bilang, "terserah mereka dong mau upload apa, daripada nyinyir, tinggal unfollow saja kan beres!".

Iya memang, tinggal sekali pencet saya bisa unfollow, unfriend, block, mute mereka. Tapi saya nggak mau. Karena berkat merekalah saya bisa tetap "waras".

Waras bagaimana? Jadi begini, karena saya tahu gimana sebalnya ketika mendapat notifikasi undangan game di facebook, saya nggak akan mengirim undangan game ke teman-teman saya di facebook, karena itu jelas bikin mereka kesal.
Karena saya tahu gimana mangkelnya ketika buka twitter  ternyata timeline isinya retween-an akun ramalan bintang, saya nggak akan me-retweet brutal akun-akun semacam itu, karena itu pasti bikin follower saya misuh-misuh. 
Karena saya tahu gimana jengkelnya ketika nge-check Recent Update di BBM ternyata isinya cuma orang mengeluh, saya nggak akan mengeluh banyak-banyak lewat Personal Message, karena tentu bikin saya dibenci Blackberry Messenger-mate saya. 

Mereka bagi saya pribadi adalah batas yang jelas antara yang baik dan yang buruk. 
Jadi, tidak selamanya punya teman yang--kata orang sekarang--alay itu merugikan, bukan?

Sunday, July 12, 2015

Keyakinan itu Kemaluan

Seperti yang sudah-sudah, bulan puasa stasiun TV berubah menjadi syariah, penyiar beritanya yang wanita berhijab, yang laki-laki berpeci. Program-programnya pun berubah menjadi Islami. Acara yang ‘kurang’ Islami di primetime digeser jam tayangnya, diganti kultum dan semacamnya. Jelang subuh yang biasanya tidak ada acara diisi dengan program andalan, demi rating.
Nah, ada satu acara yang mengganggu saya, semacam talk-show dengan narasumber para mualaf, orang yang baru masuk Islam. Nggak tahu ya, ini acara khusus Ramadhan apa sudah ada sejak bulan ‘biasa’ kemarin, karena saya jarang nonton TV. Di acara ini, narasumber bercerita bagaimana dia mendapat ‘hidayah’ hingga memutuskan masuk Islam.
Sebenarnya tidak ada masalah sih dengan acara semacam ini. Toh ini juga termasuk syiar Islam. Tapi kok agak nggak fair yah. Dengan model seperti ini kayak menunjukkan kalau keyakinan mereka sebelumnya seolah-olah ‘sesat’. Seakan-akan mereka baru dientas dari lembah hitam kegelapan, disiarkan TV nasional pula!. Sudah jelas kan agama Islam melarang pamer. Kalau selfie saja katanya disebut berpotensi takabbur, ujub, dan riya', apalagi yang seperti ini.  
Televisi memakai frekwensi publik, milik orang banyak, yang nonton juga heterogen, terus bagaimana dengan nasib lima agama lainnya, bukankah selain Islam masih ada lima keyakinan lain yang juga diakui oleh negara? Sakit hati nggak mereka yang agamanya ‘dilecehkan’?
Coba posisinya dibalik, bikin acara kesaksian mereka yang pindah agama dari Islam, saya yakin langsung digebukin ramai-ramai itu stasiun TV. Lagian, orang pindah agama kok pake disiarin TV. Buat apa? 
Sempat ramai kemarin ketika Lukman Sardi, aktor film itu, pindah dari Islam, bahkan ada yang bilang darahnya halal, dihukum mati saja. Dasarnya hadist nabi yang berbunyi “man baddala dinahu faqtuluhu” yang artinya, “barang siapa pindah agama, maka bunuhlah”. Terlepas dari ternyata hadist itu dla’if (lemah), masak sih Islam seseram itu?
Saya curiga, orang-orang yang marah ketika ada salah seorang pengikut agamanya pindah ke agama lain itu malah mereka sendiri yang sebenernya kurang PeDe dengan apa yang dianutnya. Takut keyakinannya dianggap kalah dan turun nilainya.
Harusnya kalau mereka benar-benar iman, mantap dengan agamanya, mau ribuan orang pindah dari agamanya ya mestinya tenang-tenang saja, tidak perlu merasa insecure.
Terakhir, punya keyakinan itu seperti punya kemaluan. Kalau kita laki-laki ya cukup bertindak, berpakaian layaknya laki-laki. Mau menunjukkan kelelakian kita kan nggak perlu juga sampai melambai-lambaikan penis kita di muka orang.

*terima kasih Sdri. Aura yang sudah membagi idenya.

Friday, June 26, 2015

Apple-to-Apple

Sedang ramai di televisi pemberitaan tentang Angeline, bocah 8 tahun yang ditemukan dikubur di bawah kandang ayam di rumah ibu tirinya. Disinyalir, Angeline dibunuh oleh pembantu dan ibu tiri Angeline. Berbagai spekulasi tentang motif pembunuhan bermunculan, ada yang bilang karena Angeline bakal mewarisi harta warisan ayah tirinya sehingga ibu dan kakak tirinya berusaha menyingkirkannya. Tapi, semua masih perkiraan. Kita biarkan saja bapak-bapak polisi bekerja menemukan siapa pembunuh Angeline dan latar belakang sebenernya pada kasus yang menghebohkan ini. 

Namun, saya kemarin menemukan meme di facebook yang membandingkan kematian Angeline seorang dengan kematian anak-anak kecil Suriah yang jumlahnya mungkin ribuan.


Tidak ada yang salah memang dengan meme diatas. Namun membandingkan Angeline dengan bocah-bocah Suriah sepertinya kurang pas. Meminjam istilah yang lagi nge-trend saat ini, perbandingannya tidak apple-to-apple, tidak setara. Tunggu dulu, bukannya saya tidak menghargai nyawa anak-anak Suriah, semua nyawa manusia sama, apalagi nyawa anak-anak tidak berdosa, siapapun yang merenggutnya pantas mendapat balasan setimpal. 

Namun, meminjam kalimat meme diatas,  "dunia seakan bersedih (lebay juga sih kalau pakai kata dunia, mestinya cukup Indonesia) kehilangan seorang Angeline", tapi tidak menghujat pembunuh anak-anak Suriah, saya kayaknya kok nggak sreg.

Ini sebenarnya bukan masalah nyawa seorang vs nyawa ribuan orang, ini tentang kedekatan. Kasus Angeline terjadi di Indonesia, dekat sekali dengan kita. Indonesia negara damai, tidak sedang terjadi konflik, tidak ada perang. Artinya, yang terjadi pada Angeline bisa juga terjadi pada sepupu kita, keponakan kita, tetangga kita, atau bahkan anak-anak kita. Oleh sebab itu kita seakan-akan heboh menanggapi kasus Angeline, setiap jam mudah kita temukan perkembangan beritanya. Itu adalah bentuk aware agar hal serupa tidak terjadi dan menimpa orang-orang terdekat kita.
Sedangkan di Suriah, negara tersebut sedang perang, rumah-rumah penduduk dibombardir membabi buta. Ribuan nyawa manusia tak berdosa melayang. Bukan hanya anak-anak, wanita dan orang-orang tua yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi di negara mereka juga menjadi korban. Jadi, sepertinya 'wajar' kalau ada anak-anak yang meninggal di daerah yang sedang berkonflik. 
Dan satu lagi, kita secara pribadi bisa mencegah kasus Angeline terulang. Misalnya kita bisa jadi lebih peka terhadap perubahan-perubahan perilaku orang terdekat, jika pada sebelumnya seorang anak terlihat ceria dan aktif, namun belakangan terlihat sering murung, kita patut mencari penyebabnya. Sedangkan untuk masalah konflik di Suriah, kita secara pribadi jelas tidak mungkin menghentikan pertikaian yang terjadi disana.

Seorang ustadz pernah bercerita, anak-anak yang belum baligh ketika meninggal akan menjadi wildan, pembawa air minum bagi orang tua mereka yang kepanasan di Padang Mahsyar. Semoga arwah anak-anak ini mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Aamiin.

Tuesday, May 26, 2015

Bisakah Kita Menjadi Rahmat untuk Semesta Alam?

Wuih.. Nggak sampai sebulan lagi sudah masuk bulan Ramadhan. Artinya, hampir setahun juga nggak nulis apa-apa disini. Hahahaha...

Bagi saya pribadi, bulan Ramadhan identik dengan melek sampai pagi tiap malam. Ya memang, karena selain di bulan Ramadhan jarang sekali bergadang. Yang tidak dilupa lagi itu budaya membangunkan orang untuk sahur setiap pagi. Anak-anak disini menyebutnya kote'an. Dulu waktu masih SD, jam setengah dua sudah bersiap di depan rumah, menunggu jemputan teman-teman. Sekarang sih sudah jarang ikut, regenerasi, gantian yang masih muda-muda yang meneruskan.

Nah semakin beranjak dewasa inilah saya kadang berpikir tentang kebiasaan saya dan teman-teman ini. Apalagi saya tinggal di lingkungan yang heterogen, ada beberapa tetangga yang beragama diluar Islam. Jadi takut menganggu. Meskipun mereka sama sekali tidak pernah protes, tapi tetap saja saya merasa agak canggung.

Melihat berita-berita soal orang diluar Islam yang dilarang membangun tempat ibadah di beberapa tempat di Indonesia juga miris. Katanya kita ini Bhinekka Tunggal Ika, tapi kok kita kurang bertoleransi. Alasan penolakan pasti menganggu ketertiban. Aduuh.. Padahal mereka ibadah juga nggak selalu gaduh, kan?
Coba liat kita orang Islam, lima kali sehari kita 'berisik' dengan adzan dari speaker-speaker masjid dan musholla, belum lagi kalau bulan puasa ditambah tadarus sampai malam dan kote'an sahur jelang subuh, yang konon katanya itu adalah jam enak-enaknya orang tidur. 

Pernah saya membaca jawaban seorang ustadz ketika ditanya, kenapa orang diluar Islam kalau mau membangun tempat ibadah di beberapa tempat di Indonesia kok dipersulit. Ustadz tersebut menjawab karena orang Islam kalau mau membangun masjid di negara yang mayoritas agamnya bukan Islam juga dipersulit. 
Astagfirullah.. Sekejam itukah Islam? Padahal dulu Nabi Muhammad ketika dilempari kotoran (versi lain mengatakan diludahi) oleh seorang Quraisy setiap hari, beliau tidak pernah sekalipun membalas. Malahan ketika Quraisy tersebut absen 'mengerjai' Rasulullah, beliau malah menjenguknya setelah diketahui jika Quraisy tersebut sedang sakit. 

Islam itu Rahmatan Lil 'Alamin, bukan Rahmatan Lil Muslimin. Islam itu rahmat untuk semesta alam termasuk hewan, tumbuhan, jin, apalagi manusia, Islam bukan hanya rahmat untuk sesama pemeluk agama islam saja.

Semoga selanjutnya kita bisa saling menghargai dan bertenggang rasa kepada saudara-saudara kita, bukan hanya kepada saudara seagama, tapi kepada saudara sesama makhluk ciptaan Tuhan.