Tuesday, October 25, 2011

Wayang budaya monokromatik? TIDAK!

Nek ono kyai ngarani wayang haram, gowonen mrene. Tak suweke cangkeme!
(Ki Enthus Susmono)


Panayaga atau penabuh gamelan dengan alatnya 
Hiruk pikuk sudah terlihat sejak selepas ashar. Beberapa pedagang mulai menata lapak. Terlihat ada puluhan lapak yang menjajakan berbagai macam barang mulai makanan sampai kebutuhan sehari-hari. Keramaian akan bertambah berlipat-lipat menjelang matahari terbenam. Sayup-sayup terdengar suara gamelan yang terputus-putus. Saya menebak kru pagelaran sedang melakukan check sound. Benar saja, ketika saya mendekat mereka sedang menyetel alat-alat dipimpin oleh dalang, Ki Enthus Susmono asal Tegal. Dalang 45 tahun ini adalah salah satu dalang terbaik yang dimiliki republik ini. Pernah mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang seni budaya dari salah satu perguruan tinggi di Amerika, pernah mencetak rekor MURI karena menciptakan wayang kontemporer terbanyak yakni 1491 wayang dan masih banyak prestasi lainnya. Pagelaran sendiri akan dimulai sekitar pukul sembilan malam, kira-kira masih lima jam lagi.  Saya kemudian pergi, berniat kembali lagi nanti, setelah Isya’.

Sebelum dalang datang

Panggung


Sudah gelap ketika saya kembali ke lapangan. Lampu-lampu sudah menyala. Lampu para pedagang, lampu warung makan, dan tentu saja lampu di panggung. Para tamu dan penonton berdatangan. Beberapa penonton terlihat membawa berbagai macam "perbekalan" seperti alas duduk dan sarung, maklum sore tadi hujan yang cukup deras mengguyur lapangan jadi udara cukup dingin dan lapngan jadi becek. Tapi hal itu sama sekali tidak mengurungkan niat para penikmat wayang.
Sekitar pukul setengah sembilan, pesinden dan  panayaga atau para penabuh gamelan datang diteruskan para "Tamu Kehormatan" seperti bupati dan wakilnya, para pejabat dan para keluarga juragan juga datang. Rasanya seperti kembali pada masa jaman kerajaan-kerjaan di pulau Jawa dulu. Jaman ketika wayang pertama kali digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk dakwah. Ketika itu Jawa masih diperintah oleh bupati, demang, dan lurah. Rakyat jelata masih takut pada juragan tanah. Sama persis saya rasa, bupati, wakilnya, para juragan duduk di kursi empuk tepat di depan panggung, tetapi orang biasa duduk berhimpitan berbagi alas dengan koleganya diatas tanah. Bupati, wakilnya, dan para juragan terlindung dari udara malam yang menusuk karena dipayungi tenda, penonton biasa hanya dipayungi langit dan bintang yang berpendar.  Cuma bedanya, kalau  dulu para pejabat kemana-mana dengan kereta kuda, tetapi sekarang dengan mobil mewah.


Gunungan

Beda generasi



Gamelan Kyai Abunawas  milik Ki Enthus pemberian mantan presiden, Almarhum Gus Dur mulai mengalun pelan, menandai pagelaran akan segera dimulai. Sebelum dimulai, ditampilkan dulu Tari Remo oleh dua orang penari yang tidak bisa lagi disebut muda asal RRI Surabaya. Kurang lebih 20 menit mereka menari dengan sangat semangat. Sesekali mereka melontarkan guyonan yang disambut tawa dari para penonton.

Gamelan Kyai Abunawas

Tembang Pembuka sebelum pertunjukkan dimulai
Penari Remo

Setelah basa-basi dari para penyelanggara, tepat pukul 21.50 segmen "Jejer" dimulai. Kalau dalam perfilman, ini adalah prolog, perkenalan para tokoh, disusul dengan kekisruhan-kekisruhan yang muncul. Dalang menggunakan tata bahasa yang mudah dimengerti, bahkan oleh saya yang sangat awam tentang bahasa jawa halus. Kritik-kritik terbuka terhadap kebobrokan negeri juga tak lupa disampaikan tetapi dengan kata-kata yang "menghibur". Menghibur adalah dengan kata "bangsat", "asu" dan kata-kata tabu lainnya. Lepas tawa dari penonton mendengar kata-kata "tak senonoh" tersebut.

Tengah malam segmen "Goro-Goro" dimulai, kali ini yang kebagian tugas mengocok perut adalah pelawak Marwoto asal Jogja. Ping-pong lawakannya dengan dalang membuat penonton merapat ke dekat panggung. Saya ingat, seorang ibu yang duduk di dekat saya berkata " Tambah bengi gak tambah sepi, tapi tambah marek nang ngarep", yang artinya kira-kira, semakin malam penontonnya tidak tambah sepi, tapi malah semakin merapat ke panggung. "Goro-Goro" diselingi nyanyian sinden asal Solo yang beberapa kali juga beradu guyonan dengan Marwoto. 


Marwoto menunggu giliran tampil


Wayang Gayus ditampilkan dintengah-tengah pertunjukan

Satu peristiwa yang menarik dan membuat "Gerrr" penonton adalah ketika sang sinden memanggil Bapak Bupati dan Wakilnya untuk naik ke atas panggung. Bapak Bupati dan Wakilnya sempat menjadi bahan bulan-bulanan lawakan Marwoto, tapi si bupati tidak diam saja, beliau membalas, membuat Marwoto sempat kehilangan kata-kata. Si dalang nyeletuk  "Eh, Bupatine yo ternyata rodok gendeng!", sontak lepas tawa dari para penonton dan undangan.

Dalang


Di tengah pertunjukan saya sempat berjalan-jalan untuk sekedar melemaskan otot akibat terlalu lama duduk. Saya melihat-lihat para penjual yang menjajakan barang dagangan mereka. Beberapa orang berjualan sesuatu yang ada "relevansi"-nya dengan pertunjukkan wayang. Tapi, tak sedikit juga yang berjualan barang yang saya rasa cukup aneh. Seperti contohnya, seorang yang membuka lapak terapi lintah. Terapi ini katanya bisa meningkatkan gairah seksual. Anehnya, atau mungkin uniknya, disamping bertoples-toples lintah dipajang, dia juga memajang gambar-gambar yang vulgar, atau malah cenderung pornografi. Saya sebenarnya  ingin mendokumentasikan hal tersebut. Tapi setelah saya tengok si terapis, beliau adalah seorang berbadan tegap dengan tatto di lengannya, saya menyingkir saja.

Penjual replika wayang


 Goro-Goro berakhir pukul dua pagi. Si dalang kemudian masuk pada segmen perang. Prabu Bapa, tokoh antagonis, bertarung melawan tokoh protagonis, saya lupa nama tokohnya. Bisa ditebak, Prabu Bapa kalah. Pertunjukaan diakhiri dengan teriakan gembira para rakyat, "Prabu Bapa mati!!, Prabu Bapa mati!!"

Segmen Perang

Behind the Scene, dalam arti sebenarnya


Setelah segmen perang selesai, Marwoto kembali naik ke atas pentas, sedikit melawak lagi, diikuti sinden-sinden yang bernyayi beberapa lagu, pukul 03.20 pertunjukkan selesai. Ya, selesai! Tapi tidak bagi saya, masih ada 70 km berkendara di pagi buta untuk sampai ke rumah dan istirahat. 

Sunday, October 2, 2011

Monkasel-Malam Minggu

Dari seorang teman yang mengajak ke sebuah gigs, saya akhirnya berangkat ke selepas maghrib. Hanya berempat, ya berempat, karena kesibukan teman-teman yang lain dan beberapa juga tidak sependapat atau miungkin lebih tepatnya tidak cocok dengan guest star  yang manggung jadi hanya berempat.

Sedikit bingung ketika sampai di tempat karena si penjual tiket "bersembunyi" dibalik pagar.  Penjual tiket adalah dua orang wanita dengan pakaian serba hitam dan sedikit terbuka memperlihatkan tatto di pundak dan punggung sebelah kanan atas. Saya rasa, "gaun" yang tidak cocok untuk cuaca berangin malam itu. Masuk ke venue  harus lewat barikade besi yang dijaga empat orang betubuh gempal, mereka memeriksa tiket dan men-stempel leher kami sebagai tanda masuk. Ya, kami masuk... Semerbak bau alkohol menusuk hidung. Wajar.

Venue  berbentuk seperti amphitheater dengan panggung setinggi 30cm panjang sekitar 20 meter dan lebar 3 meter. Tempat duduk lima tingkat setengah lingkaran menegelilingi stage. Semuanya dilapisi porselen. Tenda satu slop berada tepat di tengah stage, menaungi alat-alat musik. Lampu warna kuning, biru, dan merah menyala bergantian.

Band-band pembuka beraliran keras bergantian tampil. Sesekali moshpit terbentuk. Beradu badan, siku, membabi buta. Vokalis mengepalkan jari-jari, menghunus ke udara, memukul udara kosong, belasan atau bahkan ratusan kali. Lantai panggung sepertinya terlalu licin bagi sepatunya, beberapa kali dia hampir terpeleset. Dia mencoba memvariasikan aksi panggungnya dengan gerakan menari rock 'n roll padahal lagunya sangat jauh daru nuansa rock 'n roll. Beberapa kali juga penonton yang mungkin terpengaruh alkohol bertindak tidak "fair play" sehingga memicu peretengkaran kecil, tapi panitia dan penonton lainnya tampaknya terlalu sigap mengantisipasi sehingga tidak sampai menjadi masalah yang cukup besar.

Menoleh ke arah pintu masuk, semakin ramai saja para penonton yang memadati tempat itu, didominasi para pria dengan kaos hitam dan flannel. 

Jam sembilan lewat, guest star pertama band grindcore  asal Bandung, Rajasinga, mulai check sound. Mereka memainkan sekitar 8 atau 10 lagu dengan cukup memukau. Di sela-sela lagu, mereka cukup komunikatif dengan para penonton dengan mencoba mengucapkan "jancok" walau masih tetap dengan aksen sunda yang kental. 

Setelah Rajasinga, band lokal Surabaya yang mencoba menghibur. Saya duduk di sebelah kanan panggung menghadap ke penonton. Menyalakan rokok. Di akhir lagu ketiga, seseorang dengan microphone diatas panggung mengeluarkan kata-kata provokatif yang memicu emosi penonton. Tidak jelas siapa dia. Tapi dari tempat saya duduk terlihat dua orang melemparkan rokok ke arahnya dengan meneriakkan kata-kata yang sama provokatifnya. Yang diatas panggung turun, perkelahian besar terjadi. sekitar 25 orang terlibat. Panitia berlarian mencoba menghalau massa yang lain yang mencoba "ikut campur". Di speaker terdengar ajakan untuk menghentikan perkelahian. Tapi rupanya kurang ditanggapi mereka yang asyik  dengan kegiatnnya itu. Setelah dua menit mereka berhenti.

Tiba-tiba, seorang dengan atribut punk merebut mic yang dibawa panitia, dengan lantang dia berkata menolak guest star  kedua, Jeruji, untuk tampil. Dia mengatakan Jeruji adalah band kapitalis yang tidak pantas untuk manggung  di Surabaya. Dari gerak-geriknya sanagat terlihat kalau dia dalam pengaruh alkohol yang akut. Vokalis Jeruji yang sudah siap "menghajar" para penonton dengan lagu-lagunya pun mau tidak mau harus "meladeni" pria itu. Dia membela diri. Dia mengatakan bahwa Jeruji bukanlah band kapitalis. Setelah mendapat persetujuan, Jeruji akhirnya diperbolehkan memulai lagu pertama. Setelah lagu pertama, pria itu kembali berulah, mengambil mic kemudian begumam tidak jelas. Vokalis Jeruji terlihat sangat kesal dengan perilaku pria itu. Beberapa panitia yang geram mencoba menurunkan dia dari atas panggung agar tidak ada kericuhan lagi. Penampilan Jeruji diakhiri dengan lagu Respect. 


Setengah sebelas malam, saya pulang.

Yang menjadi pikiran saya, bagaimana pria dengan atribut punk itu berkata anti-kapitalis, tapi dia menggunakan produk-produk negara kapitalis. Coba cek, hanphone  apa yang dia pakai. Saya berani menjamin dia memakai hanphone produksi negara kapitalis. Dia pasti lebih bangga bila memakai celana jins buatan negara kapitalis seperti Amerika contohnya.