Sunday, October 2, 2011

Monkasel-Malam Minggu

Dari seorang teman yang mengajak ke sebuah gigs, saya akhirnya berangkat ke selepas maghrib. Hanya berempat, ya berempat, karena kesibukan teman-teman yang lain dan beberapa juga tidak sependapat atau miungkin lebih tepatnya tidak cocok dengan guest star  yang manggung jadi hanya berempat.

Sedikit bingung ketika sampai di tempat karena si penjual tiket "bersembunyi" dibalik pagar.  Penjual tiket adalah dua orang wanita dengan pakaian serba hitam dan sedikit terbuka memperlihatkan tatto di pundak dan punggung sebelah kanan atas. Saya rasa, "gaun" yang tidak cocok untuk cuaca berangin malam itu. Masuk ke venue  harus lewat barikade besi yang dijaga empat orang betubuh gempal, mereka memeriksa tiket dan men-stempel leher kami sebagai tanda masuk. Ya, kami masuk... Semerbak bau alkohol menusuk hidung. Wajar.

Venue  berbentuk seperti amphitheater dengan panggung setinggi 30cm panjang sekitar 20 meter dan lebar 3 meter. Tempat duduk lima tingkat setengah lingkaran menegelilingi stage. Semuanya dilapisi porselen. Tenda satu slop berada tepat di tengah stage, menaungi alat-alat musik. Lampu warna kuning, biru, dan merah menyala bergantian.

Band-band pembuka beraliran keras bergantian tampil. Sesekali moshpit terbentuk. Beradu badan, siku, membabi buta. Vokalis mengepalkan jari-jari, menghunus ke udara, memukul udara kosong, belasan atau bahkan ratusan kali. Lantai panggung sepertinya terlalu licin bagi sepatunya, beberapa kali dia hampir terpeleset. Dia mencoba memvariasikan aksi panggungnya dengan gerakan menari rock 'n roll padahal lagunya sangat jauh daru nuansa rock 'n roll. Beberapa kali juga penonton yang mungkin terpengaruh alkohol bertindak tidak "fair play" sehingga memicu peretengkaran kecil, tapi panitia dan penonton lainnya tampaknya terlalu sigap mengantisipasi sehingga tidak sampai menjadi masalah yang cukup besar.

Menoleh ke arah pintu masuk, semakin ramai saja para penonton yang memadati tempat itu, didominasi para pria dengan kaos hitam dan flannel. 

Jam sembilan lewat, guest star pertama band grindcore  asal Bandung, Rajasinga, mulai check sound. Mereka memainkan sekitar 8 atau 10 lagu dengan cukup memukau. Di sela-sela lagu, mereka cukup komunikatif dengan para penonton dengan mencoba mengucapkan "jancok" walau masih tetap dengan aksen sunda yang kental. 

Setelah Rajasinga, band lokal Surabaya yang mencoba menghibur. Saya duduk di sebelah kanan panggung menghadap ke penonton. Menyalakan rokok. Di akhir lagu ketiga, seseorang dengan microphone diatas panggung mengeluarkan kata-kata provokatif yang memicu emosi penonton. Tidak jelas siapa dia. Tapi dari tempat saya duduk terlihat dua orang melemparkan rokok ke arahnya dengan meneriakkan kata-kata yang sama provokatifnya. Yang diatas panggung turun, perkelahian besar terjadi. sekitar 25 orang terlibat. Panitia berlarian mencoba menghalau massa yang lain yang mencoba "ikut campur". Di speaker terdengar ajakan untuk menghentikan perkelahian. Tapi rupanya kurang ditanggapi mereka yang asyik  dengan kegiatnnya itu. Setelah dua menit mereka berhenti.

Tiba-tiba, seorang dengan atribut punk merebut mic yang dibawa panitia, dengan lantang dia berkata menolak guest star  kedua, Jeruji, untuk tampil. Dia mengatakan Jeruji adalah band kapitalis yang tidak pantas untuk manggung  di Surabaya. Dari gerak-geriknya sanagat terlihat kalau dia dalam pengaruh alkohol yang akut. Vokalis Jeruji yang sudah siap "menghajar" para penonton dengan lagu-lagunya pun mau tidak mau harus "meladeni" pria itu. Dia membela diri. Dia mengatakan bahwa Jeruji bukanlah band kapitalis. Setelah mendapat persetujuan, Jeruji akhirnya diperbolehkan memulai lagu pertama. Setelah lagu pertama, pria itu kembali berulah, mengambil mic kemudian begumam tidak jelas. Vokalis Jeruji terlihat sangat kesal dengan perilaku pria itu. Beberapa panitia yang geram mencoba menurunkan dia dari atas panggung agar tidak ada kericuhan lagi. Penampilan Jeruji diakhiri dengan lagu Respect. 


Setengah sebelas malam, saya pulang.

Yang menjadi pikiran saya, bagaimana pria dengan atribut punk itu berkata anti-kapitalis, tapi dia menggunakan produk-produk negara kapitalis. Coba cek, hanphone  apa yang dia pakai. Saya berani menjamin dia memakai hanphone produksi negara kapitalis. Dia pasti lebih bangga bila memakai celana jins buatan negara kapitalis seperti Amerika contohnya.

No comments:

Post a Comment