Ditulis sambil duduk di pojokan musholla. Tengah malam tanggal 11 Ramadhan 1435 H. Sayup-sayup masih terdengar tadarus dari Masjid besar di sebelah timur. Sedangkan di Musholla ini tadarus sudah selesai sejak jam 10 tadi.
Kadang masih berpikir, apa sih yang kita dapat dari 350 tahun, yang meskipun masih diperdebatkan, penjajahan Belanda di Nusantara? Selain sistem hukum yang kita adopsi, selain peninggalan jalan raya, jembatan, bendungan yang masih kokoh sampai sekarang?
Ada beberapa generasi yang selama hidupnya, mulai lahir sampai mati, dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Nah, mereka itu yang mungkin tidak 'sadar zaman'. Maksudnya, mereka tidak tahu kalo tanah leluhur mereka sedang dieksploitasi habis-habisan oleh orang asing. Yang ada dipikiran mereka ya begitulah hidup. Orang kulit putih kedudukannya tinggi, orang pribumi bekerja rendahan.
Tidak ada yang protes.
Hanya orang asing yang bisa sekolah, sedangkan untuk inlanders, hanya dari golongan tertentu saja yang bisa mendapat pendidikan layak dan itu pun tidak banyak, seperti anak-anak pejabat kantor-kantor birokrasi Belanda.
Lalu, 350 tahun hidup seperti itu apa yang kita dapat?
Kita pasti mewarisi DNA kakek nenek buyut kita yang sempat hidup di jaman Belanda, bukan? Apa implikasinya pada kita sekarang?
Bagi kita yang jarang bergaul dengan orang asing kulit putih, kita yang jarang atau bahkan tidak pernah pergi keluar negeri mungkin masih mewarisi sifat-sifat kakek buyut kita. Sifat-sifat yang sengaja ditanamkan oleh para penjajah, yakni sifat menghormat berlebihan pada orang asing.
Sampai hari ini mungkin kita masih gak mentolo kalau lihat orang kulit putih bekerja sebagai pemulung, bekerja kasar yang kotor-kotor di Indonesia? Kita kayaknya nggak rela kalau mereka hidup susah disini.
Tapi kalau kita lihat orang-orang Indonesia keluar masuk got, jadi tukang becak itu rasanya biasa saja, kita merasa wajar mereka bekerja seperti itu.
Coba lihat di tempat-tempat wisata yang banyak didatangi turis asing, orang asing diperlakukan istimewa, anak-anak perempuan kita rela saja menemani minum-minum hingga check-in. Padahal, di negara asalnya mereka juga tidak lebih dari hanya sopir truk, kuli, yang kebetulan punya uang lebih untuk berwisata kesini.
Tapi kita melihatnya lain, orang asing itu selalu statusnya lebih tinggi dari kita.
Di perusahaan-perusahaan, ekspatriat dapat gaji lebih tinggi, terlepas dari kualifikasi yang dimiliki tentunya. Padahal ini negara kita, kita yang punya segala sumber daya.
Di bidang olahraga, gaji pemain sepakbola asing yang bermain di Liga Indonesia bisa 3 kali lipat gaji pemain lokal. Padahal kualitasnya biasa saja, mereka kesini juga karena di negara asalnya mereka 'tidak berguna'. Kita rela saja membayar mereka tinggi, karena apa? Karena mereka orang asing.
Sebuah kisah biblikal yang pernah saya dengar -entah benar tidaknya- menyatakan, Musa sengaja membawa Bani Israil setelah lolos dari perbudakan Firaun di Mesir berjalan selama 40 tahun menuju Kanaan. Tujuannya, agar kelak ketika sudah sampai benar-benar generasi yang tidak punya mental budak yang menempati dan memimpin Tanah Yang Dijanjikan.
Itu yang saya maksud sifat-sifat warisan kakek nenek buyut kita. Mungkin saja sifat ini hilang, tapi tentu saja tidak dalam waktu dekat.