Ketika itu akhir tahun
2010, di Jogjakarta. Saya berada disana untuk mewakili kampus kecil
saya pada Kompetisi Bursa Saham Perguruan Tinggi Se-Jawa Bali di
salah satu universitas swasta.
Kala itu, Jogja
sedang berduka setelah meletusnya Gunung Merapi beberapa minggu
sebelumnya. Tapi sisa-sisa amukannya masih sangat mudah ditemui. Saya
masih ingat, tanaman di depan kamar hotel tempat saya menginap
dedaunannya masih tertutup abu. Lumayan tebal, sehingga ketika saya
menggoreskan ujung telunjuk saya di punggung daun, seketika jari saya
itu menjadi berwarna kelabu.
Kompetisi dimulai pada
jumat pagi, sampai kira-kira pukul sebelas siang karena bertepatan
dengan jadwal solat Jumat. Agak lama saya mencari masjid untuk solat
jumat, karena memang universitas tempat saya berlomba adalah
universitas kristen yang tentu saja tidak punya masjid.
Ketika berjalan, saya
berpikir, pasti tema khotbah jumat kali ini tentang bencana alam yang
baru-baru ini menimpa Jogja. Dan benar saja, khatib berceramah dengan
berapi-api menerangkan bagaimana kita sebagi umat Islam menerima
bencana yang datang dari Allah ini. Ada keterangan yang menarik
ketika khatib menyampaikan khotbahnya. Ketika itu, khatib membagi
golongan orang-orang berdasarkan bagaimana cara mereka memandang
suatu bencana alam yang datang dari Allah.
Dikatakan oleh
khatib tersebut, jika para ilmuwan, ahli geologi, ahli geografi
adalah golongan orang-orang tidak beriman
dan tidak bertuhan karena menghubungkan peristiwa gunung meletus ini
dengan ilmu pengetahuan seperti pergeseran lempeng tektonik,
peningkatan suhu kawah, ekskalasi kegempaan, atau lainnya. Disampaikan juga oleh khatib
tersebut jika seharusnya kita manusia harus menganggap semua yang terjadi di muka Bumi adalah kehendak Allah SWT. Intinya, semakin orang berilmu, semakin dia akan melupakan Tuhannya.
Seketika itu, saya ingin
teriak......
“Hey!! God create us
with biggest brain is for reasons!!”
“Tuhan punya alasan
kenapa kita diciptakan dengan volume otak paling besar daripada
makhluk hidup lainnya.”
Saya benar-benar tidak
setuju dengan pendapat khatib di majelis tersebut. Bagaimana mungkin
kita disebut tidak beriman jika kita berilmu pengetahuan.
Memang benar, kalau
semua yang terjadi di bumi datangnya dari Allah, dari Tuhan. Tapi
saya rasa kita juga harus belajar bagaimana segala sesuatu yang ada
di Bumi ini bisa terjadi, bukan? Kita punya otak untuk berpikir,
bukan? Kita harus belajar proses bukan? Bahkan Al-Quran diturunkan
juga melalui proses yang panjang selama 22 tahun 2 bulan 22 hari,
bukan langsung berbentuk kitab yang sudah terjilid rapi seperti tugas akhir mahasiswa. Sel sperma
dan sel telur pun harus menunggu selama sembilan bulan untuk bisa
menjadi manusia.
Memang, Allah bisa
dengan mudah, sangat mudah malahan
menciptakan segala sesuatu hanya dengan kalimat kun
fayakun. Tapi, akan sangat bodoh jika
kita menelan teori kun fayakun
itu secara mentah-mentah. Kita tetap harus belajar bagaimana sesuatu
bisa terjadi, tidak hanya mempasrahkan semuanya pada kalimat kun
fayakun.
Saya juga heran, selama ini yang dikupas dari Al-Quran "hanya" sebatas akhlak, aqidah, tata cara beribadah dan hal-hal semacamnya. Memang sih, itu yang esensial dari kehidupan beragam, tapi sesungguhnya Al-Quran menyimpan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Teori big bang misalnya, baru ditemukan dalam beberapa puluh tahun kebelakang ini oleh ilmuwan modern. Ternyata teori tersebut sudah tercantum di Al-Quran sejak empat belas abad lalu!
Selain teori big bang, masih banyak lagi seperti teori evolusi makhluk hidup, anatomi tubuh manusia, susunan atssmosfer dan mungkin masih banyak lagi yang menunggu untuk ditemukan.
Pendapat saya, semakin orang berilmu pengetahuan, akan semakin paham bagaimana kebesaran Tuhan. Jadi, masih ada alasan untuk mengatakan jika orang yang berilmu pengetahuan itu tidak beragama?
No comments:
Post a Comment