Wednesday, December 14, 2011

"Mahasiswa", Cuma Status Usang.


Tidak sengaja membaca sebuah tulisan di mading kampus tentang pergerakan mahasiswa, tadi pagi. Tulisan itu ditempel agak kebawah, kira-kira hanya satu meter dari lantai, jadi saya harus sedikit membungkuk untuk membacanya. 


Cukup menarik, menurut saya. Si penulis nampaknya jenuh dengan pergerakan mahasiswa yang sekarang dianggap tidak ada lagi greget-nya. Dia membandingkan dengan berbagai peristiwa yang dilakukan para mahasiswa beberapa dekade yang lalu. Masa-masa pada akhir orde baru dan awal reformasi. 

Membaca artikel tadi, saya langsung terbang pada masa ketika OSPEK, tiga tahun lalu. Beberapa orang aktivis, Pembantu Rektor, Dekan, dan masih banyak lagi meng-gembor gembor-kan kalimat: "Mahasiswa adalah agent of change!!", "Mahasiswa adalah agent of control!!", "Mahasiswa adalah agen perubahan!!" pada semua mahasiswa baru. Kami diperintahkan mengepalkan tangan kiri, mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara seraya meneriakkan sumpah mahasiswa. Jujur saja, saya merinding waktu itu, merinding karena membayangkan bahwa tugas kita sebagai mahasiswa sangatlah berat. Selain belajar, kita juga harus "mengawal" jalannya negeri ini.

Saya merasa hal-hal khas mahasiswa diatas hanyalah euphoria sesaat. Para mahasiswa merasa jika status "mahasiswa" yang mereka sandang adalah status yang cukup agung di masyarakat. Karena itu, mereka akan berbuat sesuatu yang dianggap bermanfaat, demonstrasi untuk penurunan harga bahan pokok contohnya.  Tapi, apa yang terjadi ketika para mahasiswa ini sudah lulus dan hidup mapan?? Apakah mereka akan tetap memperjuangkan keadilan masyarakat seperti ketika masih duduk di bangku kuliah?? Saya rasa jawabannya adalah mayoritas tidak.

Ratusan anggota legislatif kita yang sekarang duduk di kursi empuk dan bermobil mewah juga pernah mahasiswa, kan? Mereka dulu juga aktivis. Mereka dulu juga "doyan" unjuk rasa meneriakkan perubahan.  Tapi, apakah mereka sekarang masih punya sikap ke-mahasiswa-an seperti dulu??

*foto diambil ketika penulis mengikuti aksi PERINGATAN 1 TAHUN PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO di depan kantor DPRD GRESIK

Friday, December 2, 2011

Gairah

Di tengah-tengah kerumunan, seolah-olah saya bisa mencium bau adrenalin di udara.
(Photo taken on November 5th, 2011 in Surabaya)

Thursday, December 1, 2011

Sejarah Juga Mencatat

Kembar Artemis dan Apollo di Mitologi Yunani.
Kembar Romulus dan Remus di Mitologi Roma
Kembar Nakula dan Sadewa di Mitologi India

Ternyata, "spesies" kembar mendapatkan tempat khusus di sejarah dunia!

Saturday, November 26, 2011

Kitalah Parasitnya

(Kalimat ini saya tulis ketika marak pembantaian Orang Utan di hutan Kalimantan oleh para pemilik perkebunan kelapa sawit)


"Adalah biadab jika orang utan dianggap hama sehingga pantas untuk dimusnahkan. Tak perlu mencari-cari, manusia dan akalnya-lah yang sesungguhnya hama bagi seluruh makhluk di planet."

Tuesday, November 22, 2011

Imperialisme Kebudayaan yang Terkenal itu Cuma Mitos?

Imperialisme kebudayaan atau penjajahan budaya, pernah populer tahun 50an ketika Bung Karno akhirnya merazia piringan hitam The Beatles, melarang artis-artis Indonesia tampil dengan busana dan gaya kebarat-baratan. Tapi, apakah benar apa yang disebut Bung Karno pada pidatonya "berdansa cha cha cha, bermusik ngak ngik ngok" itu sebagai penjajahan budaya?

Penjajahan, ya penjajahan. Kita pasti langsung berpikir pada sesuatu yang sifatnya kejam, eksploitasi habis-habisan, perbudakan, dan lain-lain macamnya. Memang sih, Kamus Besar Bahasa Indonesia kita tidak mencantumkan hal-hal yang saya sebutkan tadi dalam definisi kata "penjajahan". Tapi mindset kita sepertinya sudah lekat dengan persepsi tersebut. Apa karena "trauma" terhadap penjajahan di negeri ini yang berlangsung sampai 3,5 abad?. Dan jika itu semua adalah yang disebut penjajahan, apakah benar kita telah dijajah secara budaya oleh barat?

Budaya luar tidak pernah "dipaksa" masuk ke budaya kita. Kebodohan kita lah yang menerima budaya barat secara sukarela, lapang dada, tangan terbuka. Kita yang terus-terusan mengadopsi budaya mereka. Apakah hal ini masih bisa disebut penjajahan budaya? Saya rasa TIDAK! Inilah degradasi budaya oleh kita sendiri.

Padahal, jika kita mau berpikir secara filosofis, budaya barat sebenarnya punya banyak sekali nilai-nilai positif yang seharusnya bisa menjadikan kita manusia yang lebih baik. Tapi, selama ini kita hanya melihat dan meniru pada hal-hal yang kasat mata, hal-hal artifisial yang sesungguhnya hanyalah kulit atau pembungkus budaya tersebut. Sebagai contoh, banyak orang suka musik ska, tapi apa yang mereka sukai dari musik ska? Dansa-nya, kan? Padahal ska punya semangat anti rasialis. Lalu, banyak orang suka musik reggae, tapi apa yang mereka ambil? Bergoyang sambil berganja, kan? Padahal reggae punya semgat perjuangan. Begitu juga musik punk, dan budaya musik lainnya. Apa yang dilakukan oleh orang kita ketika plesir ke luar negri? Paling belanja sambil bersenang-senang. Mereka tidak pernah meneladani perilaku cinta kebersihan, disiplin, dan tertib yang dimiliki budaya barat.

Jadi, masih berpikir kalau penjajahan budaya itu benar-benar ada? Yang sebenaranya ada adalah penjajahan jati diri kita oleh kita sendiri, budaya barat cuma katalis yang kita gunakan untuk mempercepat kehancurannya.

Tuesday, October 25, 2011

Wayang budaya monokromatik? TIDAK!

Nek ono kyai ngarani wayang haram, gowonen mrene. Tak suweke cangkeme!
(Ki Enthus Susmono)


Panayaga atau penabuh gamelan dengan alatnya 
Hiruk pikuk sudah terlihat sejak selepas ashar. Beberapa pedagang mulai menata lapak. Terlihat ada puluhan lapak yang menjajakan berbagai macam barang mulai makanan sampai kebutuhan sehari-hari. Keramaian akan bertambah berlipat-lipat menjelang matahari terbenam. Sayup-sayup terdengar suara gamelan yang terputus-putus. Saya menebak kru pagelaran sedang melakukan check sound. Benar saja, ketika saya mendekat mereka sedang menyetel alat-alat dipimpin oleh dalang, Ki Enthus Susmono asal Tegal. Dalang 45 tahun ini adalah salah satu dalang terbaik yang dimiliki republik ini. Pernah mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang seni budaya dari salah satu perguruan tinggi di Amerika, pernah mencetak rekor MURI karena menciptakan wayang kontemporer terbanyak yakni 1491 wayang dan masih banyak prestasi lainnya. Pagelaran sendiri akan dimulai sekitar pukul sembilan malam, kira-kira masih lima jam lagi.  Saya kemudian pergi, berniat kembali lagi nanti, setelah Isya’.

Sebelum dalang datang

Panggung


Sudah gelap ketika saya kembali ke lapangan. Lampu-lampu sudah menyala. Lampu para pedagang, lampu warung makan, dan tentu saja lampu di panggung. Para tamu dan penonton berdatangan. Beberapa penonton terlihat membawa berbagai macam "perbekalan" seperti alas duduk dan sarung, maklum sore tadi hujan yang cukup deras mengguyur lapangan jadi udara cukup dingin dan lapngan jadi becek. Tapi hal itu sama sekali tidak mengurungkan niat para penikmat wayang.
Sekitar pukul setengah sembilan, pesinden dan  panayaga atau para penabuh gamelan datang diteruskan para "Tamu Kehormatan" seperti bupati dan wakilnya, para pejabat dan para keluarga juragan juga datang. Rasanya seperti kembali pada masa jaman kerajaan-kerjaan di pulau Jawa dulu. Jaman ketika wayang pertama kali digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk dakwah. Ketika itu Jawa masih diperintah oleh bupati, demang, dan lurah. Rakyat jelata masih takut pada juragan tanah. Sama persis saya rasa, bupati, wakilnya, para juragan duduk di kursi empuk tepat di depan panggung, tetapi orang biasa duduk berhimpitan berbagi alas dengan koleganya diatas tanah. Bupati, wakilnya, dan para juragan terlindung dari udara malam yang menusuk karena dipayungi tenda, penonton biasa hanya dipayungi langit dan bintang yang berpendar.  Cuma bedanya, kalau  dulu para pejabat kemana-mana dengan kereta kuda, tetapi sekarang dengan mobil mewah.


Gunungan

Beda generasi



Gamelan Kyai Abunawas  milik Ki Enthus pemberian mantan presiden, Almarhum Gus Dur mulai mengalun pelan, menandai pagelaran akan segera dimulai. Sebelum dimulai, ditampilkan dulu Tari Remo oleh dua orang penari yang tidak bisa lagi disebut muda asal RRI Surabaya. Kurang lebih 20 menit mereka menari dengan sangat semangat. Sesekali mereka melontarkan guyonan yang disambut tawa dari para penonton.

Gamelan Kyai Abunawas

Tembang Pembuka sebelum pertunjukkan dimulai
Penari Remo

Setelah basa-basi dari para penyelanggara, tepat pukul 21.50 segmen "Jejer" dimulai. Kalau dalam perfilman, ini adalah prolog, perkenalan para tokoh, disusul dengan kekisruhan-kekisruhan yang muncul. Dalang menggunakan tata bahasa yang mudah dimengerti, bahkan oleh saya yang sangat awam tentang bahasa jawa halus. Kritik-kritik terbuka terhadap kebobrokan negeri juga tak lupa disampaikan tetapi dengan kata-kata yang "menghibur". Menghibur adalah dengan kata "bangsat", "asu" dan kata-kata tabu lainnya. Lepas tawa dari penonton mendengar kata-kata "tak senonoh" tersebut.

Tengah malam segmen "Goro-Goro" dimulai, kali ini yang kebagian tugas mengocok perut adalah pelawak Marwoto asal Jogja. Ping-pong lawakannya dengan dalang membuat penonton merapat ke dekat panggung. Saya ingat, seorang ibu yang duduk di dekat saya berkata " Tambah bengi gak tambah sepi, tapi tambah marek nang ngarep", yang artinya kira-kira, semakin malam penontonnya tidak tambah sepi, tapi malah semakin merapat ke panggung. "Goro-Goro" diselingi nyanyian sinden asal Solo yang beberapa kali juga beradu guyonan dengan Marwoto. 


Marwoto menunggu giliran tampil


Wayang Gayus ditampilkan dintengah-tengah pertunjukan

Satu peristiwa yang menarik dan membuat "Gerrr" penonton adalah ketika sang sinden memanggil Bapak Bupati dan Wakilnya untuk naik ke atas panggung. Bapak Bupati dan Wakilnya sempat menjadi bahan bulan-bulanan lawakan Marwoto, tapi si bupati tidak diam saja, beliau membalas, membuat Marwoto sempat kehilangan kata-kata. Si dalang nyeletuk  "Eh, Bupatine yo ternyata rodok gendeng!", sontak lepas tawa dari para penonton dan undangan.

Dalang


Di tengah pertunjukan saya sempat berjalan-jalan untuk sekedar melemaskan otot akibat terlalu lama duduk. Saya melihat-lihat para penjual yang menjajakan barang dagangan mereka. Beberapa orang berjualan sesuatu yang ada "relevansi"-nya dengan pertunjukkan wayang. Tapi, tak sedikit juga yang berjualan barang yang saya rasa cukup aneh. Seperti contohnya, seorang yang membuka lapak terapi lintah. Terapi ini katanya bisa meningkatkan gairah seksual. Anehnya, atau mungkin uniknya, disamping bertoples-toples lintah dipajang, dia juga memajang gambar-gambar yang vulgar, atau malah cenderung pornografi. Saya sebenarnya  ingin mendokumentasikan hal tersebut. Tapi setelah saya tengok si terapis, beliau adalah seorang berbadan tegap dengan tatto di lengannya, saya menyingkir saja.

Penjual replika wayang


 Goro-Goro berakhir pukul dua pagi. Si dalang kemudian masuk pada segmen perang. Prabu Bapa, tokoh antagonis, bertarung melawan tokoh protagonis, saya lupa nama tokohnya. Bisa ditebak, Prabu Bapa kalah. Pertunjukaan diakhiri dengan teriakan gembira para rakyat, "Prabu Bapa mati!!, Prabu Bapa mati!!"

Segmen Perang

Behind the Scene, dalam arti sebenarnya


Setelah segmen perang selesai, Marwoto kembali naik ke atas pentas, sedikit melawak lagi, diikuti sinden-sinden yang bernyayi beberapa lagu, pukul 03.20 pertunjukkan selesai. Ya, selesai! Tapi tidak bagi saya, masih ada 70 km berkendara di pagi buta untuk sampai ke rumah dan istirahat. 

Sunday, October 2, 2011

Monkasel-Malam Minggu

Dari seorang teman yang mengajak ke sebuah gigs, saya akhirnya berangkat ke selepas maghrib. Hanya berempat, ya berempat, karena kesibukan teman-teman yang lain dan beberapa juga tidak sependapat atau miungkin lebih tepatnya tidak cocok dengan guest star  yang manggung jadi hanya berempat.

Sedikit bingung ketika sampai di tempat karena si penjual tiket "bersembunyi" dibalik pagar.  Penjual tiket adalah dua orang wanita dengan pakaian serba hitam dan sedikit terbuka memperlihatkan tatto di pundak dan punggung sebelah kanan atas. Saya rasa, "gaun" yang tidak cocok untuk cuaca berangin malam itu. Masuk ke venue  harus lewat barikade besi yang dijaga empat orang betubuh gempal, mereka memeriksa tiket dan men-stempel leher kami sebagai tanda masuk. Ya, kami masuk... Semerbak bau alkohol menusuk hidung. Wajar.

Venue  berbentuk seperti amphitheater dengan panggung setinggi 30cm panjang sekitar 20 meter dan lebar 3 meter. Tempat duduk lima tingkat setengah lingkaran menegelilingi stage. Semuanya dilapisi porselen. Tenda satu slop berada tepat di tengah stage, menaungi alat-alat musik. Lampu warna kuning, biru, dan merah menyala bergantian.

Band-band pembuka beraliran keras bergantian tampil. Sesekali moshpit terbentuk. Beradu badan, siku, membabi buta. Vokalis mengepalkan jari-jari, menghunus ke udara, memukul udara kosong, belasan atau bahkan ratusan kali. Lantai panggung sepertinya terlalu licin bagi sepatunya, beberapa kali dia hampir terpeleset. Dia mencoba memvariasikan aksi panggungnya dengan gerakan menari rock 'n roll padahal lagunya sangat jauh daru nuansa rock 'n roll. Beberapa kali juga penonton yang mungkin terpengaruh alkohol bertindak tidak "fair play" sehingga memicu peretengkaran kecil, tapi panitia dan penonton lainnya tampaknya terlalu sigap mengantisipasi sehingga tidak sampai menjadi masalah yang cukup besar.

Menoleh ke arah pintu masuk, semakin ramai saja para penonton yang memadati tempat itu, didominasi para pria dengan kaos hitam dan flannel. 

Jam sembilan lewat, guest star pertama band grindcore  asal Bandung, Rajasinga, mulai check sound. Mereka memainkan sekitar 8 atau 10 lagu dengan cukup memukau. Di sela-sela lagu, mereka cukup komunikatif dengan para penonton dengan mencoba mengucapkan "jancok" walau masih tetap dengan aksen sunda yang kental. 

Setelah Rajasinga, band lokal Surabaya yang mencoba menghibur. Saya duduk di sebelah kanan panggung menghadap ke penonton. Menyalakan rokok. Di akhir lagu ketiga, seseorang dengan microphone diatas panggung mengeluarkan kata-kata provokatif yang memicu emosi penonton. Tidak jelas siapa dia. Tapi dari tempat saya duduk terlihat dua orang melemparkan rokok ke arahnya dengan meneriakkan kata-kata yang sama provokatifnya. Yang diatas panggung turun, perkelahian besar terjadi. sekitar 25 orang terlibat. Panitia berlarian mencoba menghalau massa yang lain yang mencoba "ikut campur". Di speaker terdengar ajakan untuk menghentikan perkelahian. Tapi rupanya kurang ditanggapi mereka yang asyik  dengan kegiatnnya itu. Setelah dua menit mereka berhenti.

Tiba-tiba, seorang dengan atribut punk merebut mic yang dibawa panitia, dengan lantang dia berkata menolak guest star  kedua, Jeruji, untuk tampil. Dia mengatakan Jeruji adalah band kapitalis yang tidak pantas untuk manggung  di Surabaya. Dari gerak-geriknya sanagat terlihat kalau dia dalam pengaruh alkohol yang akut. Vokalis Jeruji yang sudah siap "menghajar" para penonton dengan lagu-lagunya pun mau tidak mau harus "meladeni" pria itu. Dia membela diri. Dia mengatakan bahwa Jeruji bukanlah band kapitalis. Setelah mendapat persetujuan, Jeruji akhirnya diperbolehkan memulai lagu pertama. Setelah lagu pertama, pria itu kembali berulah, mengambil mic kemudian begumam tidak jelas. Vokalis Jeruji terlihat sangat kesal dengan perilaku pria itu. Beberapa panitia yang geram mencoba menurunkan dia dari atas panggung agar tidak ada kericuhan lagi. Penampilan Jeruji diakhiri dengan lagu Respect. 


Setengah sebelas malam, saya pulang.

Yang menjadi pikiran saya, bagaimana pria dengan atribut punk itu berkata anti-kapitalis, tapi dia menggunakan produk-produk negara kapitalis. Coba cek, hanphone  apa yang dia pakai. Saya berani menjamin dia memakai hanphone produksi negara kapitalis. Dia pasti lebih bangga bila memakai celana jins buatan negara kapitalis seperti Amerika contohnya.

Sunday, July 10, 2011

Memaksa Tuhan

Tadi malam kita ikut pengajian. Sesuatu yang sudah jarang kami lakukan. Sepanjang pengajian tidak ada hal yang istimewa. Pada akhir pengajian, Sang Pemimpin pengajian membacakan doa penutup dan para jamaah mengamini sebagai tanda "menyetujui" apa yang diminta Sang Pemimpin pada Tuhan. Kita mendengar dan melihat ada satu, dua, tiga, empat, lima orang melafadkan kata AMIN dengan keras, cenderung membentak. Seolah olah mereka memaksa Tuhan untuk mengabulkan do'a mereka. ANEH. LUCU.

Thursday, June 16, 2011

Gerhana Bulan Tadi Pagi

1:04 AM

1:41 AM

1:51 AM

2:07 AM

2:17 AM

2:29 AM

2:32 AM

2:34 AM

2:59 AM

Fotonya diambil dari lapangan di depan rumah. Kita udah nunggu mulai jam 10 malam sama temen-temen kuliah yang emang ada rapat suksesi PEMILU Presiden BEM. Rumah kita emang sering dijadiin tempat ngumpul mereka. Minimal tiga kali seminggu.
Karena udara Gresik yang belakangan ini cukup dingin pas malam hari, akhirnya kita putusin untuk menenggak minuman beralkohol buat sedikit angetin badan. 
Jam satu malam kita udah gelar karpet di tengah lapangan sambil bawa selimut dan bantal.
Yaaahh, karena keterbatasan lensa kamera yang kita punya, hasilnya nggak maksimal, tripodnya juga goyang gara-gara floor-nya ga rata. Tapi  lumayanlah ada dokumentasi gerhana bulan paling lama dalam 100 tahun terakhir. Bisa buat cerita ke anak cucu.
Sayangnya, kita nggak sempet ngambil gambar pas detik-detik berakhirnya gerhana gara-gara ketiduran.

Sunday, May 29, 2011

Monday, May 16, 2011

Akhirnya, Saya Tidak Lagi Pergi Ke Masjid

Saya menulis ini setelah membaca postingan di sebuah blog yag sangat inspiratif. Saya mengalami hal yang kurang lebih sama dengan yang ditulis di blog tersebut. Saya mengalami pergolakan dan kebimbangan akan Tuhan. Saya mengalami sebuah pertarungan batin yang mungkin lebih seru daripada yang ditulis di novel Atheis.

Saya lahir di keluarga yang pendidikan agamanya biasa-biasa saja. Tetapi, kedua orang tua saya telah berusaha memberikan tambahan pendidikan di sebuah tempat mengaji, tidak jauh dari rumah. Saya cukup rajin mengikuti pembelajaran disana meskipun tidak sampai lulus dan mendapatka ijasah karena jadwal mengaji berbenturan dengan jadwal sekolah. Di belakang rumah saya ada sebuah mesjid, atau bisa disebut musholla karena ukurannya tidak begitu besar. Hampir setiap maghrib saya melakukan sholat berjamaah disana. Setiap hari selasa malam, selepas Isya' selalu diadakan sholawatan yang diikuti anak-anak kampung, mulai dari yang SD sampai SMA. Beberapa orang dewasa menjadi "penggebuk" rebana. Anak-anak disini menyebut kegiatan itu sebagai Dziba'an . Kami melafadzkan Sholawat pada Rasulullah dengan berbagai macam aransemen, berbagai macam gubahan yang semakin menambah semangat kami. Itu semua kami lakukan semata-mata hanya sebagai  bentuk cinta kami pada beliau, beliau yang telah banyak berjasa pada umat manusia. Yang paling ditunggu oleh anak-anak peserta Dziba'an adalah ketika acara selesai dan kita semua berebut makanan kecil yang sengaja dikirim oleh para tetangga. Walaupun makanannya sangat terbatas tetapi kita tidak segan-segan berbagi dengan teman yang lain. Suasana yang sangat menyenangkan menurut saya.

Ketika bulan puasa, keramaian di musholla kami bisa berlipat-lipat. Beberapa remaja secara bergantian setiap hari menjadi pendamping imam. Menjadi bilal untuk menghitung jumlah bilangan sholat Tarawih. Setelah sholat tarawih, anak-anak tidak akan langsung pulang kerumah.  Beberapa bertadarus Al-Quran, yang lainnya bermain di halaman musholla. Ada yang bermain petak umpet, petasan, dan permainan sederhana lainnya. Agak malam, beberapa anak yang berumur belasan, termasuk saya melanjutkan tadarus Al-Quran sampai waktu sahur tiba. Satu malam kami bisa menghabiskan lima juz Alquran. Ketika salah satu teman bertadarus, yang lainnya kadang membaca buku yang ada di rak buku musholla. Cukup lengkap menurut saya untuk musholla sekecil itu. Ada buku Sejarah Hidup Muhammad, Biografi Malcom X, tabloid terbitan puluhan yang lalu dan buku pengetahuan agama lainnya. Mengesanakan sekali, membaca buku-buku yang menambah pengetahuan spiritual kami di musholla, pada malam bulan Ramadhan. Bahkan kadang kala kami mendebatkan masalah-masalah yang baru kami dapat dari buku tersebut dengan teman-teman lainnya.
Mendekati waktu sahur kami segera bergegas menyiapkan peralatan kami untuk membangunkan orang-orang kampung untuk segera sahur. Kami disini menyebutnya "kotek'an". Dengan alat musik seadanya kami berkeliling melantunkan pujian, sholawat dan nyanyian-nyanyian religius lainnya. Ada beberapa orang yang langsung keluar rumah untuk "memberitahukan" bahwa mereaka sudah bangun. Dua kali berkeliling sudah membuat kami yakin kalau semua orang kampung sudah bangun dari tidur mereka. Setelah itu, kami pulang kerumah untuk sahur dirumah masing-masing. Tidur, lalu bersiap untuk hal yang sama esok malam.
Hal itu saya lakukan selama sebulan penuh. Jadi, malam bulan Ramadhan  saya habiskan di musholla. Sebulan penuh tanpa pernah tidur di rumah sama sekali. Rasanya ingin setiap bulan adalah bulan Ramadhan.

Malam Lebaran kami tidak lagi tadarus, tapi melantunkan takbir. Takbir yang terus menerus dilantunkan sampai menjelang subuh tiba di kota kami. Di sela-sela lantunan takbir, kami juga membantu bapak-bapak Amil Zakat untuk menyalurkan zakat yang telah dikumpulkan dan membaginya pada orang-orang sekitar yang sekiranya membutuhkan.
Semua itu merupakan pengalaman yang benar-benar mengesankan di Musholla belakang rumah saya. Kebersamaan, saling membantu, rasa memiliki,  semuanya terjadi begitu saja di musholla kami yang sederhana.

Namun, semua itu berubah drastis ketika saya masuk kuliah. Saya kuliah di Universitas yang berlatar belakang agama. Saya bertemu banyak sekali macam orang dengan berbagai macam pemikirannya. Beberapa masih berpikiran konservatif, bawaan dari pendidikan mereka di jenjang sebelumnya. Beberapa lagi ada yang sangat moderat, sekuler.

Tapi yang paling berpengaruh pada diri saya adalah mayoritas orang dan beberapa dosen yang terus menerus  menyampaikan pemahaman agama yang mereka yakini, mereka mengatakan bahwa selama ini yang saya lakukan adalah SALAH!! Nyanyian-nyanyian yang saya praktekkan selama ini adalah satu bentuk bid'ah, penyembahan terhadap Dzat lain selain ALLAH. Mereka berdalih bahwa Rasullullah tidak pernah mengajarkan musik, nyanyian, dan pujian yang ditujukan pada beliau. Padahal DEMI ALLAH apa yang saya lakukan adalah murni sebagai bentuk penghormatan saya pada Rasullulah. Mereka berpendapat bahwa gerakan yang mereka lakukan adalah satu gerakan pemurnian Islam, mereka mengatakan bahwa Islam sudah tercampur dengan budaya lokal yang sarat akan ritual-ritual agama lain. Mereka bilang adalah tugas mereka untuk kembali pada gerakan puritan seperti yang sudah terjadi di belahan dunia lain.

Mendengar kata-kata mereka, saya seperti ditampar dengan sangat keras!! Rasanya, nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua, guru mengaji, ustadz di mushollah saya  mereka cabut dengan sangat kasar. Saya benar-benar bimbang, apakah benar yang saya lakukan selama ini tidak ada manfaatnya sama sekali?. Apakah yang saya lakukan selama ini hanya menimbulkan dosa?
Sepertinya Allah saya telah dirampas oleh mereka.

Sekarang, saya malas pergi ke Musholla untuk Dziba'an. Teman-teman saya juga serupa. Pintu musholla sudah ditutup rapat dan semua lampunya dimatikan setelah sholat isya. Tidak ada lagi tawa anak-anak kecil. Tidak ada lagi rebutan makanan setelah lelah Dziba'an oleh mereka. Tidak ada lagi bunyi rebana yang dipukul. Yang ada hanya orang-orang tua, bertafakur dalam keheningan doa mereka sendiri. Entah sampai kapan musholla saya seperti ini.

Wednesday, March 23, 2011

Earth Hour 2011




Tanggal 26 Maret merupakan sabtu terakhir di bulan Maret, artinya kita merayakan lagi Earth Hour. Sesuatu yang menurut saya menarik untuk dilakukan. Kapan lagi seluruh warga dunia bersama-sama melakukan hal yang sama untuk tujuan yang sama. Beberapa mungkin tidak tahu hal tersebut. Normal saya rasa,  karena sosialisai di media massa nasional masih sangat kurang, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya masih ingat tahun lalu saking seringnya himbauan untuk mematikan lampu, banyak orang yang mengira akan ada pemadaman listrik massal.  Yang saya tahu, tahun ini hanya ada satu stasiun TV beberapa kali menayangkan himbuan untuk mematikan alat-alat listrik utamanya lampu selama satu jam mulai pukul 20.30 sampai 21.30. Namun sayangnya, pesan itu hanya ditayangkan tidak sampai 30 detik sehingga anjuran yang ingin disampaikan masih sangat absurd dan susah dimengerti.

Heran, mungkin media massa khususnya media elektronik menganggap menyampaikan pesan-pesan seperti tidak membawa keuntungan secara finansial bagi mereka. Tidak seperti stasiun TV internasional seperti National Geographic Channel Asia yang hampir setiap setengah jam menyampaikan pesan-pesan untuk berpartisipasi dalam peringatan Earth Hour tahun ini. Pesan  juga dikemas dengan tampilan yang menarik, bukan hanya tulisan-tulisan yang sulit dibaca karena durasinya yang sangat pendek.

Harusnya kita bisa mencontoh negara lain yang berpartsipasi secara total. Amerika secara luas meliput "perayaan Earth Hour". Lampu menara Petronas dimatikan selama Earth Hour 2009. Beberapa stasiun TV siaran hanya dengan cahaya lilin dan LED selama satu jam. National Geographic berhenti mengudara dari pukul 20.30-21.30 pada Earth Hour 2010. Jika mereka bisa melakukan hal-hal besar seperti yang telah saya sebutkan, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mematikan lampu rumah kita selama satu jam sabtu depan.

Selain itu, kemampuan PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia juga masih terbatas. Bukankah jika kita menghemat listrik , secara tidak langsung kita juga memberi kesempatan untuk mereka yang belum terjamah listrik agar menikmati listrik.

Saturday, March 12, 2011

Surga itu Banyak

Banyak orang bingung beragama. Utamanya Islam. Mereka takut yang mereka lakukan tidak cocok dengan organisasi keagaaman lainnya. Setali tiga uang dengan organisasi-nya, mereka kadang seenaknya membid'ah apa yang orang lain lakukan. Si biru bilang, kalau begini itu tidak ada ajarannya, dosa. Si hijau bilang tidak dosa. Padahal kalo dilihat dari sejarahnya, dua organisasi besar itu muncul sama-sama sebagai gerakan revivalisme, gerakan pemurnian terhadap agama Islam yang sudah tercampur banyak budaya dan ajaran. Tapi kenapa malah bikin gesekan-gesekan di masyarakat kita. Tapi, untung saja kita belum pernah melihat konfrontasi diantara mereka berdua-semoga saja tidak akan pernah-. Masyarakat kita mayoritas masih dalam tipe eksklusivisme dalam memeluk suatu ajaran. Tipe yang menganggap ajaran yang dianutnya adalah yang paling benar. Lihat saja, beberapa orang masih sangat skeptis terhadap pemeluk agama lain, mereka mengganggap sangat aneh pada pemeluk agama lain, bahkan lebih parahnya tidak mau mendekati mereka. Dimana toleransi kita??
Bahkan yang lebih mengejutkan, saya punya teman yang dari TK sampai SMA dibina di sekolah berbasis agama. Tapi, dia sama sekali tidak pernah menunjukkan rasa hormat kepada pemeluk agama lain, sering malah dia mencemooh ritual agama mereka. Mungkin hal itu karena dia tidak pernah beinteraksi dengan pemeluk agama lain. Kadang saya pernah berpikir, apakah di sekolah dia tidak pernah diajarkan toleransi umat beragama di mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, atau memang dia yang tidak peduli pada pelajaran itu? Memang, hal ini bukan merupakan intepretasi total terhadap pendidikan berbasis agama kita, tapi paling tidak fenomena ini ada di sekitar kita.

Alangkah indahnya jika kita semua dalam meyakini sesuatu ada dalam tahap inklusivisme, atau bahkan akan lebih baik lagi bila pluralisme, mengganggap semua ajaran itu mengajarkan dan bertujuan sama. Mengajarkan suatu kebaikan, dan bertujuan pada kebenaran.

Untuk memudahkan semuanya, saya hanya menjalankan apa yang saya yakini itu benar dan tidak merugikan orang lain tanpa membawa panji biru, hijau, merah atau apapun lainnya.
Dan untuk lebih mudahnya lagi, saya berpikir jika surga itu ada banyak, surga untuk agama A, surga untuk agama B, surga untuk organisasi A, surga untuk organisasi B, jadi tidak perlu men-judge salah apa yang orang lain lakukan karena mereka akan masuk surga mereka masing-masing. Mudah, kan?

Wednesday, January 5, 2011

Surat Pada Tuhan


Dulu, kukira hidupku sempurna. keluarga terbina, teman berguna, uang bukan fatamorgana. Aku liar, bagai binatang. Tanpa sangkar, dan Kau kutantang. Tiap detik bermandikan dosa, sampai kurasa aku tak lagi punya asa, dan hidup bukan hanya sepenggal prosa, diatas itu semua ada yang lebih berkuasa.
itu Kau Yang Maha Esa.