Harga bahan bakar minyak naik. Tentu saja harga barang-barang pokok lain nggak mau kalah. Bahkan bukan cuma bahan pokok, tarif naik angkot, taksi, sampai tiket pesawat pun pasti ikut naik. Tapi, apa pendapatan masyarakat naik juga? Belum tentu, kan?.
Beberapa bulan terakhir kita mungkin sering melihat gambar nostalgia, yang lahir di tahun 80an atau 90an awal pasti kenal istilah "Pak Harto Mesem".
Gambar Bapak Mantan Presiden Suharto yang tersenyum kali ini bukan pada uang kertas pecahan besar, tapi bertebaran berupa sticker dengan ditambahi kata-kata cukup menggelitik, yang menempel di
bumper mobil maupun
diupload di social media seperti
display picture BlackBerry Messengger, twitter, juga
facebook. Sepengetahuan saya, ada tiga versi tulisan tapi dengan gambar sama,
Yang pertama, "piye kabare, bro? Isih enak jamanku to.....?"
Yang kedua, "piye kabare, le? Isih enak jamanku to.....?"
Yang ketiga, piye kabare, ngger? Isih enak jamanku to......?"
Hehehe.... cuma berbeda panggilan tapi artinya masih sama
.
Entah sticker itu ada tendensinya dengan salah satu partai politik tertentu mengingat tahun depan adalah tahun pemilihan umum atau cuma kerjaan orang iseng yang rindu romantika orde baru karena 32 tahun kita dipimpin Pak Harto?
Tapi sebenarnya apa benar hidup di jaman orde baru itu lebih enak? Saya masih kelas dua SD ketika orde baru tumbang, masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.
Memang sih, ketika negara ini dipimpin Pak Harto bahan pangan murah, tindak kriminal minimal, masyarakat gampang memenuhi kebutuhan, kita bisa swasembada beras dimana kita tidak perlu mengimpor beras untuk kebutuhan dalam negeri.
Tapi ada hal yang dikorbankan, pers tidak punya kebebabasan, masyarakat tidak boleh menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah.
Bahkan ada beberapa anekdot atau guyonan tentang hal itu. Orang-orang bilang kalau jaman orde baru dokter gigi di Indonesia itu tidak ada yang laku, orang Indonesia yang punya duit kalau cari dokter gigi selalu pergi keluar negeri soalnya di Indonesia tidak ada yang berani buka mulut.
Ada lagi yang bilang kalau anjing-anjing dalam suatu waktu berjajar bersama-sama di perbatasan negara, mereka lalu memasukkan kepalanya melewati pagar perbatasan kemudian menggonggong bersama-sama, dan masih banyak yang lainnya.
Ketika ramai harga bahan bakar minyak naik, ada yang secara 'konyol' membandingkan harga bensin tahun 1993 dengan harga bensin tahun 2013. Mereka dengan bangga mengutuk pemerintah yang menaikkan harga bensin menjadi Rp. 6.500, karena menurut mereka harga bensin di tahun 1993 jauh lebih murah, yakni 'hanya' Rp. 700. Padahal, dari sebuah sumber di internet, jika dibandingkan antara harga minyak dunia pada 1993 dan 2013 kemudian disesuaikan dengan nilai tukar rupiah, harga Rp. 700 rupiah pada 1993 itu ternyata lebih mencekik masyarakat daripada harga Rp. 6.500 pada tahun 2013. Tahun 1993, harga bensin Rp. 700 itu sama dengan Rp. 19.550 saat ini.
Selain itu, jika didasarkan pada daya beli masyarakat yang diukur dari pendapatan perkapita pada 1993 dan 2013, ternyata harga Rp. 700 pada 1993 masih 'lebih mahal' jika dibandingkan harga Rp. 6.500 pada 2013. Dari segi daya beli masyarakat, harga Rp. 700 setara dengan Rp. 10.970 saat ini.
Jadi, masih ingin kembali ke Orde Baru?