"Kita ini umat miskin!". Coba lihat, untuk membangun musholla saja kita harus "mengemis" minta sumbangan mulai dari rumah kerumah, membuka kotak amal di tengah jalan, memasang banner ukuran raksasa, sampai merekrut executive marketing berpeci yang kemana-mana membawa map dan amplop.
Tapi, coba perhatikan, siapa yang menjadikan pengusaha rokok kaya? Siapa yang menghabiskan uang jutaan rupiah untuk memenuhi udara kita dengan asap beracun? Siapa yang membeli makanan hanya untuk dibuang kembali? Jawabannya KITA, kan?
Tapi kenapa ada perbedaan yang mencolok seperti itu? Kenapa tidak ada kesadaran untuk bersedekah, kenapa tidak ada niatan untuk beramal jariyah? Kenapa orang melakukan ibadah (sedekah dan amal jariyah) harus jemput bola? Lalu siapa yang salah? Kita? atau malah panitia pembangunan musholla?
Saat ini, kita sudah tidak bisa lagi saling percaya. Kita sudah saling mencurigai.
Mungkin, kita tidak mau bersedekah karena sudah tidak lagi percaya pada mereka para panitia. Kita tidak tahu apa yang mereka lakukan dengan uang kita, dikemanakan uang kita? Apakah benar-benar untuk membangun musholla?
Tiap tahun, jelang Idul Fitri di media cetak dan elektronik pasti ditemukan berita, "Pembagian Zakat Ricuh, Sekian Orang Tewas Terinjak-Injak". Lalu muncul pertanyaan, kenapa para saudagar itu membagikan sendiri zakat mereka, kenapa tidak melalui Badan Amil Zakat resmi pemilik pemerintah? Jawabannya pasti sama, karena mereka tidak percaya pada lembaga-lembaga macam itu. Para saudagar itu lebih lega kalau mereka tahu siapa yang menerima zakat mereka.
Jika saja sistem manajemen sedekah, zakat, dan amal jariyah dikelola secara bersih, transparan dan profesional pasti kita tidak menjadi umat yang miskin. Kita tidak mengemis.