Monday, May 16, 2011

Akhirnya, Saya Tidak Lagi Pergi Ke Masjid

Saya menulis ini setelah membaca postingan di sebuah blog yag sangat inspiratif. Saya mengalami hal yang kurang lebih sama dengan yang ditulis di blog tersebut. Saya mengalami pergolakan dan kebimbangan akan Tuhan. Saya mengalami sebuah pertarungan batin yang mungkin lebih seru daripada yang ditulis di novel Atheis.

Saya lahir di keluarga yang pendidikan agamanya biasa-biasa saja. Tetapi, kedua orang tua saya telah berusaha memberikan tambahan pendidikan di sebuah tempat mengaji, tidak jauh dari rumah. Saya cukup rajin mengikuti pembelajaran disana meskipun tidak sampai lulus dan mendapatka ijasah karena jadwal mengaji berbenturan dengan jadwal sekolah. Di belakang rumah saya ada sebuah mesjid, atau bisa disebut musholla karena ukurannya tidak begitu besar. Hampir setiap maghrib saya melakukan sholat berjamaah disana. Setiap hari selasa malam, selepas Isya' selalu diadakan sholawatan yang diikuti anak-anak kampung, mulai dari yang SD sampai SMA. Beberapa orang dewasa menjadi "penggebuk" rebana. Anak-anak disini menyebut kegiatan itu sebagai Dziba'an . Kami melafadzkan Sholawat pada Rasulullah dengan berbagai macam aransemen, berbagai macam gubahan yang semakin menambah semangat kami. Itu semua kami lakukan semata-mata hanya sebagai  bentuk cinta kami pada beliau, beliau yang telah banyak berjasa pada umat manusia. Yang paling ditunggu oleh anak-anak peserta Dziba'an adalah ketika acara selesai dan kita semua berebut makanan kecil yang sengaja dikirim oleh para tetangga. Walaupun makanannya sangat terbatas tetapi kita tidak segan-segan berbagi dengan teman yang lain. Suasana yang sangat menyenangkan menurut saya.

Ketika bulan puasa, keramaian di musholla kami bisa berlipat-lipat. Beberapa remaja secara bergantian setiap hari menjadi pendamping imam. Menjadi bilal untuk menghitung jumlah bilangan sholat Tarawih. Setelah sholat tarawih, anak-anak tidak akan langsung pulang kerumah.  Beberapa bertadarus Al-Quran, yang lainnya bermain di halaman musholla. Ada yang bermain petak umpet, petasan, dan permainan sederhana lainnya. Agak malam, beberapa anak yang berumur belasan, termasuk saya melanjutkan tadarus Al-Quran sampai waktu sahur tiba. Satu malam kami bisa menghabiskan lima juz Alquran. Ketika salah satu teman bertadarus, yang lainnya kadang membaca buku yang ada di rak buku musholla. Cukup lengkap menurut saya untuk musholla sekecil itu. Ada buku Sejarah Hidup Muhammad, Biografi Malcom X, tabloid terbitan puluhan yang lalu dan buku pengetahuan agama lainnya. Mengesanakan sekali, membaca buku-buku yang menambah pengetahuan spiritual kami di musholla, pada malam bulan Ramadhan. Bahkan kadang kala kami mendebatkan masalah-masalah yang baru kami dapat dari buku tersebut dengan teman-teman lainnya.
Mendekati waktu sahur kami segera bergegas menyiapkan peralatan kami untuk membangunkan orang-orang kampung untuk segera sahur. Kami disini menyebutnya "kotek'an". Dengan alat musik seadanya kami berkeliling melantunkan pujian, sholawat dan nyanyian-nyanyian religius lainnya. Ada beberapa orang yang langsung keluar rumah untuk "memberitahukan" bahwa mereaka sudah bangun. Dua kali berkeliling sudah membuat kami yakin kalau semua orang kampung sudah bangun dari tidur mereka. Setelah itu, kami pulang kerumah untuk sahur dirumah masing-masing. Tidur, lalu bersiap untuk hal yang sama esok malam.
Hal itu saya lakukan selama sebulan penuh. Jadi, malam bulan Ramadhan  saya habiskan di musholla. Sebulan penuh tanpa pernah tidur di rumah sama sekali. Rasanya ingin setiap bulan adalah bulan Ramadhan.

Malam Lebaran kami tidak lagi tadarus, tapi melantunkan takbir. Takbir yang terus menerus dilantunkan sampai menjelang subuh tiba di kota kami. Di sela-sela lantunan takbir, kami juga membantu bapak-bapak Amil Zakat untuk menyalurkan zakat yang telah dikumpulkan dan membaginya pada orang-orang sekitar yang sekiranya membutuhkan.
Semua itu merupakan pengalaman yang benar-benar mengesankan di Musholla belakang rumah saya. Kebersamaan, saling membantu, rasa memiliki,  semuanya terjadi begitu saja di musholla kami yang sederhana.

Namun, semua itu berubah drastis ketika saya masuk kuliah. Saya kuliah di Universitas yang berlatar belakang agama. Saya bertemu banyak sekali macam orang dengan berbagai macam pemikirannya. Beberapa masih berpikiran konservatif, bawaan dari pendidikan mereka di jenjang sebelumnya. Beberapa lagi ada yang sangat moderat, sekuler.

Tapi yang paling berpengaruh pada diri saya adalah mayoritas orang dan beberapa dosen yang terus menerus  menyampaikan pemahaman agama yang mereka yakini, mereka mengatakan bahwa selama ini yang saya lakukan adalah SALAH!! Nyanyian-nyanyian yang saya praktekkan selama ini adalah satu bentuk bid'ah, penyembahan terhadap Dzat lain selain ALLAH. Mereka berdalih bahwa Rasullullah tidak pernah mengajarkan musik, nyanyian, dan pujian yang ditujukan pada beliau. Padahal DEMI ALLAH apa yang saya lakukan adalah murni sebagai bentuk penghormatan saya pada Rasullulah. Mereka berpendapat bahwa gerakan yang mereka lakukan adalah satu gerakan pemurnian Islam, mereka mengatakan bahwa Islam sudah tercampur dengan budaya lokal yang sarat akan ritual-ritual agama lain. Mereka bilang adalah tugas mereka untuk kembali pada gerakan puritan seperti yang sudah terjadi di belahan dunia lain.

Mendengar kata-kata mereka, saya seperti ditampar dengan sangat keras!! Rasanya, nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua, guru mengaji, ustadz di mushollah saya  mereka cabut dengan sangat kasar. Saya benar-benar bimbang, apakah benar yang saya lakukan selama ini tidak ada manfaatnya sama sekali?. Apakah yang saya lakukan selama ini hanya menimbulkan dosa?
Sepertinya Allah saya telah dirampas oleh mereka.

Sekarang, saya malas pergi ke Musholla untuk Dziba'an. Teman-teman saya juga serupa. Pintu musholla sudah ditutup rapat dan semua lampunya dimatikan setelah sholat isya. Tidak ada lagi tawa anak-anak kecil. Tidak ada lagi rebutan makanan setelah lelah Dziba'an oleh mereka. Tidak ada lagi bunyi rebana yang dipukul. Yang ada hanya orang-orang tua, bertafakur dalam keheningan doa mereka sendiri. Entah sampai kapan musholla saya seperti ini.